Categories
Otomotif

Tingkat Kemacetan di DKI Jakarta Mencapai 48 Persen, Langkah Pengendalian Kendaraan Bermotor Terus Dilakukan

bachkim24h.com – Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menyatakan tingkat kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta pada tahun 2022 mencapai 48 persen yang tergolong tingkat tidak menyenangkan dalam berkendara.

Dikutip dari kantor berita Antara, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebutkan tingkat kemacetan di Jakarta pada 2021 mencapai 34 persen, berdasarkan kajian lembaga global pengukur kemacetan kota, Tomtom International BV.

Tingkat kepadatan tersebut menempatkan Jakarta pada posisi terbaik, yakni peringkat ke-46. Saat ini pada tahun 2020 menduduki peringkat 31 dari 404 kota di 58 negara. Baterai sepeda motor listrik dipamerkan di IIMS Hybrid 2022 [bachkim24h.com/CNR ukirsari].

Namun lembaga internasional ini mengungkapkan bahwa wabah COVID-19 menjadi penyebab utama atau faktor utama yang mengurangi tingkat kemacetan di kota-kota utama dunia.

Total perjalanan yang dilakukan warga Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi mencapai 45 juta orang per hari pada tahun 2010. Data tersebut berasal dari Kajian Rencana Induk Transportasi Terpadu Jabodetabek (SITRAMP) dan Integrasi Kebijakan Transportasi Perkotaan Jabodetabek (JUTPI). ) I dan II. Jadi tahun 2018 itu 88 juta orang per hari.

Keadaan ini juga dibarengi dengan ketergantungan terhadap penggunaan kendaraan pribadi, khususnya sepeda motor.

Pada tahun 2002, persentase penggunaan angkutan umum mencapai 52,7 persen dan sepeda motor 27,5 persen. Namun pada tahun 2018, penggunaan sepeda motor meningkat pesat menjadi 68,3 persen dan sebaliknya penggunaan angkutan umum menurun menjadi hanya 6,9 persen.

Meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi bukan satu-satunya penyebab kemacetan lalu lintas. Namun berdampak pada penurunan kualitas udara yang berujung pada gangguan kesehatan.

Pada tahun 2020, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyebutkan sektor transportasi merupakan penyumbang pencemaran udara yang besar. Termasuk polutan paling berbahaya, Micrometer Particulate (PM) 2.5, yang jumlahnya mencapai 67 persen.

Polusi udara berasal dari sepeda motor yang menyumbang 44,5 persen, dan mobil 14,5 persen, berdasarkan studi Komite Penghapusan Bahan Bakar Timbal pada tahun 2019.

Kebijakan pengendalian mobil di Jakarta sudah diterapkan. Ini termasuk pemeriksaan parkir, di mana biaya parkir menjadi dua kali lipat jika Anda gagal dalam uji emisi kendaraan.

Selain itu, ada kawasan yang lebih sedikit dibebaskan karena kawasan tertentu diubah sepenuhnya menjadi kawasan pejalan kaki, seperti Kota Tua dan Tebet Eco Park.

Langkah lainnya adalah dengan mengendalikan lalu lintas kendaraan di kawasan tertentu dengan menggunakan jalur tidak konvensional.

Anies Baswedan mengatakan, saat pertama kali memimpin Jakarta, jumlah mobil di ibu kota mencapai 19,5 juta unit. Namun berdasarkan data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, jumlah kendaraan bermotor di Kota Jakarta akan terus bertambah hingga tahun 2021 dan mencapai 21,7 juta unit.

Sementara terkait ganjil, Dinas Perhubungan DKI mengungkapkan berdasarkan data Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) pada tahun 2019, sebanyak 37 persen pengguna mobil beralih menggunakan sepeda motor saat ganjil genap tercapai. . Sisanya sebesar 17 persen menggunakan ojek online dan 27 persen beralih ke angkutan umum.

Di sisi lain, perbaikan dan peningkatan pelayanan angkutan umum tidak hanya dilakukan di Jakarta saja, namun juga didorong di kawasan aman.

Inspektur Transportasi Djoko Setijowarno mengatakan pada tahun 2018 diperkirakan ada 6,6 juta orang yang setiap harinya melakukan perjalanan ke Jakarta dari daerah penyangga yaitu: Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi (Bodetabek).

Sementara itu, fasilitas angkutan umum di kawasan Bodetabek belum sebaik Jakarta sehingga diperlukan kerja sama antar pemerintah daerah.

“Lebih dari 95 persen pemukiman di Bodetabek tidak memiliki akses transportasi umum,” jelasnya.

Solusi kemacetan lalu lintas di Ibu Kota Jakarta nampaknya harus diterapkan secara maksimal. Membenahi kelembagaan dan regulasi pendukung di Jakarta saja tidak cukup, namun diperlukan kerja sama antar daerah di daerah penyangga. Pergerakan masyarakat di Jakarta tidak hanya dipengaruhi oleh masyarakat, tetapi juga pihak luar, khususnya daerah penyangga.