Categories
Kesehatan

[Kolom Pakar] Prof Tjandra Yoga Aditama: 5 Hal Terkait Obat Pencegahan Tuberkulosis

bachkim24h.com, Jakarta – Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan penting di dunia dan di sini. Indonesia kini menjadi negara penyumbang kasus tuberkulosis tertinggi kedua di dunia, dimana sebelumnya kita berada di peringkat ketiga. Padahal sudah ada Keputusan Presiden No. 67 Tahun 2021 tentang tuberkulosis, tujuan mengakhiri tuberkulosis pada tahun 20230 jelas masih menjadi tantangan besar.

Pada 14 Februari 2024, beberapa hari lalu, WHO mengeluarkan “pernyataan darurat” tentang obat-obatan untuk mencegah tuberkulosis. Ini menjadi hal yang menarik, karena biasanya yang dibicarakan hanya pengobatan terhadap mereka yang sudah sakit, namun ditegaskan juga bahwa ada obat untuk mencegah tuberkulosis.

Dalam publikasi WHO tertanggal 14 Februari 2024, terdapat lima hal yang tidak hanya ingin kita ketahui, tetapi harus diterapkan di Indonesia.

Pertama, sekitar seperempat penduduk dunia terinfeksi virus tuberkulosis, dan di negara kita jumlah ini mungkin lebih tinggi lagi. Bahkan, ia tidak akan sakit, baik karena bakteri TBC yang tidak aktif maupun karena daya tahan tubuhnya.

Nah, berbagai penelitian menunjukkan bahwa sekitar 5-10% di antaranya akan terserang tuberkulosis, dan penyakit tersebut akan muncul 2 hingga 5 tahun setelah infeksi awal. 

Kedua, WHO dengan jelas mengutip bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa pengobatan pencegahan TBC (“Pengobatan Pencegahan TBC – TPT”) bagi mereka yang berisiko tinggi akan mengurangi risiko terkena penyakit TBC.

Pada bulan September 2023, pada pertemuan global “Pertemuan Tingkat Tinggi PBB tentang Tuberkulosis” disepakati komitmen untuk memperluas pengobatan pencegahan tuberkulosis kepada 45 juta orang. Indonesia harus menjadi bagian dalam mencapai angka global ini, sementara cakupan kita saat ini masih rendah.

 

 

Ketiga, khusus untuk pengobatan pencegahan TBC bagi yang menemui pasien multidrug-resisten/rifampisin-TB (MDR/RR-TB). 

Oleh karena itu, pada tahun 2024, WHO merekomendasikan untuk memasukkan penggunaan levofloxacin selama 6 bulan, hal ini sejalan dengan hasil penelitian terbaru di Afrika Selatan dan Vietnam. Tentu akan sangat baik jika ke depan hasil penelitian Indonesia bisa menjadi rujukan dunia.

Keempat, adanya perubahan dosis rejimen pengobatan anti tuberkulosis obat levofloxacin dan rifapentine, serta pemberian simultan dengan obat dolutegravir. Ini merupakan fitur baru yang diharapkan dapat memberikan pencegahan lebih baik.

 

Kelima, adanya kombinasi rekomendasi “skrining WHO” tahun 2021 dan “pedoman WHO tentang tes baru infeksi tuberkulosis. Juga terdapat pembaruan algoritma tentang cara melakukan pengobatan preventif tuberkulosis bagi mereka yang bersentuhan dengan tuberkulosis. pasien”. , kelompok ODHA dan kelompok risiko tinggi lainnya.

Saya berharap jumlah orang yang berobat untuk mencegah TBC di negara kita terus bertambah banyak, sehingga masyarakat di Indonesia benar-benar terlindungi dari penyakit TBC yang setiap jamnya menyebabkan 16 orang meninggal di Indonesia, sungguh miris sekali.

 

Prof. Tjandra Yoga Aditama

Direktur Studi Sarjana Universitas YARSI / Profesor FKUI / Mantan Direktur Penyakit Menular WHO untuk Asia Tenggara

Categories
Kesehatan

[Kolom Pakar] Prof Tjandra Yoga Aditama: EOC & SHOC

bachkim24h.com, Jakarta – Seperti yang saya sebutkan di atas, saya menghadiri pertemuan di kantor WHO Jenewa mengenai International Health Regulations (IHR) yang dikeluarkan pada tahun 2005 dan mulai berlaku pada tahun 2007. Tentu saja pembahasannya akan mencakup berbagai aspek pandemi, serta hubungan internasional dalam memerangi penyakit menular yang mungkin menyebar antar negara.

Rapat dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 7 Februari 2024 pukul 09.30 s/d 17.30 waktu Marathon. Hasilnya diharapkan akan dipresentasikan pada Majelis Kesehatan Dunia pada Mei 2024. Jika hal ini dapat dilakukan, dunia akan lebih siap menghadapi wabah internasional atau pandemi di masa depan.

Di sisi lain, IHR (2005) yang berlaku saat ini, antara lain, menyatakan bahwa Negara harus mengembangkan, memperkuat dan memelihara kapasitas untuk merespons secara efektif potensi risiko kesehatan masyarakat dan kesehatan masyarakat. darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional (public health Emergency of International Concern).

Dalam konteks ini, pada tahun 2012, WHO mendirikan “Pusat Darurat” (CEC) kesehatan masyarakat, seperti dalam kasus saya. Kantor Pusat WTO menjadi tuan rumah beberapa kegiatan penting EOC, termasuk sosialisasi standar EOC dan praktik terbaik ke negara-negara anggota WTO, termasuk Indonesia.

Ini juga menampung “Pusat Operasi Kesehatan Strategis (SHOC)” dari Organisasi Kesehatan Dunia, yang memantau situasi perkembangan kesehatan masyarakat di seluruh dunia sepanjang waktu berkoordinasi dengan EOC atau SHOC di berbagai negara di dunia. Jelasnya, tujuannya adalah untuk mengidentifikasi, merespons, dan memfasilitasi kerja sama internasional jika terjadi keadaan darurat kesehatan masyarakat.

Bagi kami di Indonesia, karena negara kami besar dan luas, tentu akan lebih baik jika kami memiliki semacam EOC di tingkat nasional (yang sudah kami miliki) maupun di tingkat regional, provinsi, dan kabupaten/kota. Ada tiga hal penting yang dapat Anda lakukan.

Pertama, sebagai bentuk pengawasan dan deteksi dini jika terjadi keadaan darurat kesehatan masyarakat di wilayah manapun di negara kita. Kedua, pemerintah pusat akan dapat mengambil tindakan segera untuk mencegah penyebaran lebih lanjut, dan ketiga, akan dimungkinkan untuk mengidentifikasi peluang dan berkolaborasi antar daerah untuk segera merespons keadaan darurat kesehatan masyarakat.