Categories
Bisnis

Rupiah Tembus 16.000 per Dolar AS, Bagaimana Dampak ke Sektor Pangan?

bachkim24h.com, Batavia – Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih di atas 16.000. Menyoroti hal tersebut, Kepala Badan Pangan Nasional (BAPANAS) Arief Prasetyo mengatakan hal itu bisa berdampak pada lebih banyak pangan.

Arif mencontohkan, beberapa produk yang sudah berada di tingkat luar negeri dilonggarkan harga, salah satunya gula pasir. Dia mengatakan gula termasuk beras telah dilarang di India karena berdampak pada harga di seluruh dunia.

“Jadi kalau Pak Erick BUMN minta seluruh BUMN ambil risiko atau perpanjang tes, kalau dolar AS Rp 16.000, 16,2, 16,5, kita suka apa? Dampak geopolitik dan moneternya berapa? (18/4/2024) “Tes lanjutan” demikian Arief dalam media briefing.

Arief menambahkan, jurang yang melemah juga berdampak pada pembelian beras impor untuk konsumsi dalam negeri. Arif mengatakan, pengamanan pangan bagi masyarakat Indonesia dan ketersediaan beras tetap menjadi fokus utama pemerintah berapa pun harganya.

“Kami tidak bisa hidup tanpa beras, kami harus menyediakannya dengan cara apa pun.

Selain itu, harga beras dunia juga mengalami kenaikan. Sebelumnya harga satu ton adalah Rp. Pak Arif mengatakan meski 460, harga satu ton beras di dunia sekitar 670 dolar.

Pada Kamis, 18 April 2014, nilai tukar rupiah yang dikutip Antara naik 41 poin atau 0,25 persen menjadi 16.179 terhadap dolar AS dari sebelumnya 16.220.

“Pedagang dolar pada hari Kamis melemahkan prospek minat konsumen AS setelah komentar dari pejabat Federal Reserve memperkuat ekspektasi bahwa mata uang akan tetap ketat lebih lama,” kata ekonom Ibrahim Asuibi kepada media di Batavia, Kamis.

Pasar memperkirakan H akan menurunkan suku bunga sebesar 44 basis poin pada tahun 2024, awal terakhir dari siklus kenaikan suku bunga, menurut alat CME FedWatch.

Sebelumnya diberitakan, Badan Pangan Nasional (BAPANAS) akan menaikkan gula menjadi Rp 17.500 per kilogram di tingkat konsumen. Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengungkapkan rencana kenaikan harga gula sementara mulai 5 April hingga 31 Mei 2024.

“Gula kita lepas Rp 17.500 per kilogram hingga 31 Mei, sehingga dipastikan gulanya tetap ada dan tidak hilang, karena ada jeda,” kata Arif kepada wartawan usai acara Halal Halal, Kamis (18/4). ). /2024).

Aturan tersebut dibuat pada 4 April usai Rapat Koordinasi Pasokan Pangan dan Stabilisasi Harga Gula Konsumsi lintas Kementerian/Lembaga dan pemangku kepentingan.

Harga gula pasir di tingkat konsumen sebelumnya Rp 16.000 per kilo kini menjadi Rp 17.500. Sedangkan untuk wilayah Maluku, Papua dan sumber daya, terluar dan perbatasan ditetapkan sebesar Rp 18.500 per kilogram.

“HAP menetapkan peningkatan pasokan gula dan harga gula untuk menjaga konsumsi khususnya di ritel modern,” kata Arief.

Arief menambahkan, perlu juga dilakukan penyesuaian harga gula konsumsi sebelum dikonsumsi massal sebelum masa penggilingan gula di dalam negeri.

Lebih lanjut, menurut dia, kenaikan HAP gula terjadi karena tingkat produksi gula dalam negeri sudah tinggi dan harga gula konsumsi yang diimpor ke luar negeri juga tinggi.

Sebelumnya, pemerintah menargetkan swasembada gula nasional pada tahun 2028. Selain itu, pemisahan bioetanol dari gula merupakan campuran bahan bakar minyak (BBM) yang ramah lingkungan.

Untuk memastikan hal tersebut, koordinasi Kementerian Perekonomian tengah mempersiapkan penguatan regulasi. Inilah roadmap atau peta jalan menuju swasembada gula.

“Kenapa kita siapkan peta jalan, mungkin dalam waktu satu bulan akan selesai. Bentuknya perintah koordinasi menteri (keputusan menko Perekonomian),” kata Wakil Menteri Koordinator Pangan dan Agribisnis itu. Di Kantor Koordinasi Kementerian Perekonomian Jakarta, Menteri Koordinator Perekonomian Dida Gardera dihadirkan pada Kamis (7/3/2024).

Tujuan swasembada gula nasional dan pemisahan bioetanol dari gula tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang percepatan swasembada gula nasional dan penyediaan bahan bakar nabati seperti bahan bakar nabati (biofuel).

Hal ini membutuhkan peningkatan produktivitas dan penambahan luas lahan hingga 700.000 hektar (ha).

Dida mengatakan, langkah awal yang harus dilakukan bukan luas areal budidaya, melainkan peningkatan produk tebu terlebih dahulu. Namun Indonesia disebut-sebut masih tertinggal jauh dari Brasil.

“Itu sudah ada di keppres. Kebutuhan lahan 700 ribu hektare. Tapi masih ada jalur kedua. Kami masih optimalkan jalur pertama, apa yang berbuah di tahun 60an, targetnya 93, dan Brazil sudah di atas 100,” jelasnya.