bachkim24h.com, JAKARTA – Kementerian Kesehatan meluncurkan Rumah Sakit Pendidikan Institusi Utama (RSPPU) atau Program Pendidikan Profesi Berbasis Rumah Sakit (PPDS).
RI Edi Vuryanto, Anggota Komite Kesembilan Republik Demokratik Rakyat Korea, menanggapi hal tersebut. Ia mengucapkan terima kasih terhadap program yang merupakan salah satu fungsi yang diatur dalam Pasal 209 Bagian 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
“Ada baiknya Kementerian Kesehatan menyelenggarakan penemuan dan keberanian berbasis rumah sakit ini,” kata Edi kepada Health bachkim24h.com, Senin (6/5/2024).
Namun, Edie mengingatkan kita perlu mengantisipasi potensi dampak buruknya. Misalnya, tidak boleh ada standar ganda di sekolah kedokteran yang memberikan pelatihan profesional.
“Rumah sakit dan universitas harus memiliki kurikulum, proses pelatihan, dan kualitas yang sama. Fakultas bertanggung jawab menetapkan standar pendidikan di rumah sakit. Tentu saja Kementerian Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dan asosiasi medis yang menyelenggarakan proyek rumah sakit,” jelas Edi.
Oleh karena itu, diperlukan peraturan pemerintah untuk pendidikan khusus di rumah sakit.
Anggota DPRD Kabupaten III Jawa Tengah sepakat peserta program spesialis berbasis rumah sakit ini akan berasal dari daerah dan pulang kampung.
Sumber daya dokter di daerah tertinggal dan sulit serta daerah perbatasan perlu mendapat perhatian. Hal itu didapat Edie dari berbagai keluhan masyarakat yang kesulitan mendapatkan pertolongan medis karena minimnya dokter. Setidaknya mereka harus meninggalkan tempat itu dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
“Saya berharap lulusan RS ini merupakan warga daerah dan mau mengabdi pada kampung halamannya,” harap Edie.
Sebagai bagian dari proyek percontohan berbasis rumah sakit, enam rumah sakit menyediakan pendidikan kedokteran di enam spesialisasi, tambah Edi.
Diketahui bahwa peluncuran rencana tersebut akan dilakukan secara bertahap, dan diusulkan agar Kementerian Kesehatan tetap fokus pada layanan dokter spesialis primer.
Berdasarkan siaran pers Kementerian Kesehatan, hingga April 2024, 34 persen rumah sakit daerah di Indonesia tidak memiliki cukup dokter spesialis di tujuh kategori utama yaitu dokter anak, dokter spesialis kebidanan, bedah, penyakit dalam, anestesiologi, radiologi, dan patologi klinik. “ Ini yang kami kejar, ” kata Eadie.
Edi meminta Kementerian Kesehatan memperbanyak jumlah dokter spesialis serta jumlah perawat profesional dan apoteker.
“UU Nomor 17 Tahun 2023 tidak hanya menekankan pada pendidikan profesi dokter, tapi juga psikolog klinis. Seharusnya tidak ada lagi program untuk dokter saja. ” jelasnya.
Pendidikan perawat terdaftar ditawarkan di banyak universitas. Spesialisnya meliputi pediatri, keperawatan bedah, psikiatri, komunitas, kebidanan dan ginekologi, termasuk onkologi dan unit gawat darurat.
“Bisa didukung secara medis,” katanya.
Menurutnya, perawat membutuhkan profesi yang sama dengan dokter karena merupakan mitra. Ada beberapa jenis dokter spesialis di kalangan perawat, namun jumlahnya tidak cukup. Misalnya, ada penelitian yang menyatakan bahwa terdapat kurang dari 10.000 perawat hemodialisis.
Rasio dan distribusi perawat juga penting, karena pelayanan kesehatan memerlukan kerja sama dokter dan perawat. Jangan lengah, kata politikus PDI Perjuangan itu.
“Hal selanjutnya yang perlu dilakukan bersamaan dengan program berbasis rumah sakit ini adalah pemerataan distribusi alat kesehatan,” lanjut Eady.
Akses terhadap peralatan medis perlu dipetakan, kata Edie. Misalnya, rumah sakit kelas A, B, C, dan G di provinsi tertentu sudah lengkap. Jika peralatan kesehatan tidak mencukupi, sebaiknya pemerintah pusat dan daerah bersama-sama menyediakannya. Dikatakannya, hal ini tidak hanya memberikan manfaat bagi para dokter dan tenaga medis, namun masyarakat juga merasakan manfaat pemerataan pelayanan medis.
Sistem rujukan diharapkan hanya berfungsi di satu provinsi, dengan mengatakan bahwa “tidak ada peralatan medis atau tenaga medis, sehingga masyarakat tidak perlu meninggalkan provinsi tersebut.”