Categories
Kesehatan

Ramai Soal Depresi Mahasiswa PPDS, Dekan FK-KMK UGM: Hasil Skrining Awal Semestinya Tidak Dipublikasikan

bachkim24h.com, Jakarta – Hasil pemeriksaan Kementerian Kesehatan terhadap gejala depresi pada 2.716 atau 22,4 persen dari 12.121 mahasiswa Program Pelatihan Profesi Dokter (PPDS) menjadi perbincangan banyak pihak.

Topik ini sempat populer dan mendapat tanggapan dari para dokter, ahli, mantan mahasiswa PPDS dan peneliti.

Salah satunya yang turut angkat bicara mengenai kesehatan jiwa mahasiswa PPDS, Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) Prof. Dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., FRSPH.

Menurutnya, proses skrining kesehatan jiwa siswa PPDS merupakan salah satu contoh upaya nyata pengelolaan kesehatan jiwa siswa.

Dalam pemeriksaan kesehatan jiwa siswa atau dalam proses pengujian, untuk menjamin keakuratan data, memperhatikan aspek etika dan menjaga kualitas data, perlu diperhatikan pemilihan alat penelitian.

Hasil skrining awal bukan merupakan hasil akhir atau alat untuk mendiagnosis status kesehatan siswa. Sebaiknya hasil skrining mengikuti langkah penelitian lain seperti pemeriksaan ahli kesehatan jiwa, kata Yodi, dalam keterangan resmi. di situs UGM, Jumat (19 April 2024).

Oleh karena itu, dia menilai hasil penyelidikan tidak boleh dipublikasikan untuk menghindari salah tafsir.

Oleh karena itu, hasil penelitian asli tidak akan dipublikasikan karena dapat menimbulkan salah tafsir, pelanggaran etika, atau stigmatisasi terhadap lembaga atau kelompok tertentu, misalnya mahasiswa yang berpotensi menjadi tenaga medis, ujarnya.

Yodi menambahkan, cita-cita penyelenggaraan pendidikan kedokteran khusus adalah untuk membantu memenuhi misi pemerintah dalam menjamin kesetaraan, mempercepat pelaksanaan dan menjamin mutu pelayanan kesehatan medis yang profesional.

Penyelenggaraan program pendidikan kedokteran profesi meliputi peningkatan pengetahuan, keterampilan, kepemimpinan, disiplin, tanggung jawab dan manajemen etika mahasiswa.

Melihat konteks ini, dapat dipahami bahwa pendidikan profesi bertujuan untuk menghasilkan dokter profesional yang mampu melaksanakan pelayanan kesehatan masa depan yang berkualitas profesional. Pembentukan ini melalui proses yang kompleks dan sistematis dan tidak hanya menyembuhkan calon dokter.

“Program pendidikan kedokteran profesi terus meningkatkan mutu pendidikan dengan memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan peserta didik.”

“Salah satu upayanya adalah dengan mengurangi kemungkinan penyimpangan aktivitas dalam mekanisme pendidikan yang berdampak pada kesehatan fisik dan mental peserta didik,” imbuhnya.

Ia kemudian menyatakan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM (FK-KMK) mengupayakan kesehatan mental mahasiswa dalam kerangka Program Pendidikan Profesi.

Pertama, pemeriksaan kesehatan harus dilakukan terhadap seluruh mahasiswa yang akan menjadi dokter spesialis pada awal proses pelatihan.

Kedua, seluruh mahasiswa yang menjadi profesional diwajibkan bekerja kurang dari 80 jam per minggu.

Ketiga, membekali calon mahasiswa kedokteran dengan pendidikan berkelanjutan dalam pengelolaan gejala depresi.

Keempat, jika ada gejala depresi, tawarkan layanan kelompok psikologis. Layanan psikolog juga dapat diberikan secara langsung melalui Internet untuk menjamin kerahasiaan konsultasi.

Kelima, pemantauan rutin oleh dosen pembimbing akademik mengenai status dan kemajuan pendidikan calon mahasiswa kedokteran profesional.

Terakhir, Yodi menyampaikan bahwa keberlangsungan bantuan pendidikan profesi sangat berperan penting dalam menunjang kualitas pembelajaran.

Pasalnya, kemungkinan besar siswa akan menghadapi berbagai tantangan selama proses pelatihan, seperti: Tugas berat 24/7 dalam keadaan darurat tidak menghasilkan tugas berat. Lebih banyak perhatian diberikan pada kasus-kasus serius dan komplikasi. Permintaan lembaga pendidikan atau pemberi beasiswa pendidikan bertujuan untuk menyelesaikan pendidikan tepat waktu.

Categories
Kesehatan

Peserta PPDS di Negara Tetangga Digaji, Berapa Nominalnya?

bachkim24h.com, Jakarta Sepekan terakhir ramai diperbincangkan mengenai hasil evaluasi kesehatan jiwa peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di 28 rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan 2.716 mahasiswa Program Pendidikan Dokter Khusus (PPDS) menunjukkan gejala depresi.

Ketua Jaringan Dokter Muda Indonesia (JDN), Tommy Dharmawan mengatakan, kasus depresi pada penderita PPDS juga banyak ditemukan di luar negeri. Menurut wawancara dan pengalaman, masalah keuangan bisa menjadi salah satu penyebab depresi.

“Tidak terbayarnya PPDS menjadi penyebab tertekannya PPDS,” kata Tommy dalam pertemuan daring dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada Jumat (19/4/2024).

Sayangnya, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang tidak membayar PPDS.

“Indonesia satu-satunya negara di dunia yang tidak membayar PPDS. Sebaliknya, Undang-Undang Pendidikan Dokter tahun 2013 menyatakan bahwa pemerintah harus membayar PPDS,” kata Tommy.

Lalu berapa besaran yang harus diterima PPDS?

Dalam hal ini, Tommy tidak menyebutkan angka pastinya. Namun mereka mengambil sampel dari negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

“Di Singapura gaji PPDSnya sekitar S$2.650 (sekitar Rp 31,6 juta), tapi itu negara maju,” ujarnya. 

“Mungkin ada negara lain yang bisa dijadikan proksi, misalnya negara berkembang seperti Malaysia sekitar Rp15 juta. Tapi Indonesia tentunya punya kearifan lokal tersendiri dalam hal besaran donasinya,” kata Tommy.

Melihat kesejahteraan para dokter, dokter, dan PPDS, Tommy mengaku masih sangat sedih.

“Kesehatan para dokter termasuk PPDS, khususnya dokter, sangat mengecewakan jika kita melihat negara. Jadi kekecewaan itu hanya satu isu, saya kira kita perlu mengangkat isu kesehatan para dokter, PPDS.”

“Mungkin orang mengira dokter-dokter ini baik-baik saja, bagaimana mereka mendapat uang karena uangnya cukup. Meski mungkin tidak bisa, tapi sudah ada dalam UU Pendidikan Kedokteran bahwa PPDS harus dibiayai, kata Tommy.

Tommy pun menjelaskan mengapa upah sangat penting bagi PPDS.

 “Peserta PPDS itu umurnya pertengahan 20-an, sudah menikah, jadi ya, mereka butuh uang untuk hidup sehari-hari,” kata Tommy.

“Kalau dia tidak punya uang, bagaimana dia bisa hidup, bagaimana dia bisa berkeluarga, bagaimana dia bisa membiayai kebutuhannya.”

Bahkan, lanjut Tommy, permasalahan keuangan yang dihadapi mahasiswa PPDS bisa berujung pada kekerasan di kalangan generasi muda.

“Kekurangan uang bisa menjadi sasaran intimidasi bagi generasi muda. Jika tidak mempunyai uang, mereka bisa meminta untuk membeli makanan, atau membeli lapangan sepak bola (sewa dibayar). Saya pikir ini adalah hal-hal yang pantas untuk dilihat. ”  

Ia menambahkan, PPDS di seluruh dunia menerima pembayaran dari rumah sakit yang dioperasikannya. Saat ini Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang tidak membayar PPDS.