bachkim24h.com, Jakarta Krisis iklim berpotensi mendorong masyarakat untuk mengakses sampah. Hal tersebut disampaikan oleh kepala proyek kebijakan pangan, Center for Indonesian Strategic Development Initiatives (CISDI), Raisa Andriani.
Ia mencontohkan data Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 yang menemukan masyarakat mengakses junk food karena mudah didapat dan terjangkau.
“Makanan tidak sehat seperti makanan ultraolahan dan minuman manis kemasan (MBDK) semakin mudah diakses dan ditemukan masyarakat,” kata Raisa dalam keterangan pers, Kamis (21/11/2024).
Tingginya konsumsi makanan ultra-olahan dan MBDK dapat berkontribusi terhadap penambahan berat badan dan menyebabkan obesitas dan selanjutnya meningkatkan risiko penyakit tidak menular (PTM).
“Mengonsumsi junk food secara signifikan meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti diabetes, penyakit kardiovaskular, dan lain sebagainya,” kata Raisa.
Ke depan, pemerintah daerah akan menghadapi program Makan Gizi Gratis (MBG). Oleh karena itu, CISDI mendorong pemerintah daerah untuk memastikan pangan lokal tetap menjadi prioritas dalam perencanaan menu program MBG.
Di sisi lain, pemerintah daerah harus berani menolak kemungkinan masuknya makanan tidak sehat ke dalam pelaksanaan program MBG, seperti makanan ultraolahan yang cenderung tinggi gula, garam, dan lemak (GGL) dan MBDK.
Tantangan ketahanan pangan, termasuk pemenuhan pangan sehat, memerlukan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah, lanjut Raisa.
“Lokasi adalah aspek kunci untuk mewujudkan rantai pasokan pangan yang berkelanjutan dan sehat.” “Di sini para pemimpin regional memainkan peran penting dalam mengatasi masalah iklim serta tantangan ketahanan pangan.”
Hal itu disampaikan Raisa menyambut pemilihan presiden daerah (Pilkada) serentak pada 27 November mendatang.
Menurut Raisa, Pilkada menjadi momentum untuk mengidentifikasi pemimpin yang peduli terhadap dampak krisis iklim.
Pemimpin daerah yang berkomitmen mengatasi krisis iklim sangat penting karena dampaknya terhadap kualitas lingkungan, kehidupan sosial, ekonomi dan kesehatan.
“Krisis iklim telah berdampak pada kesehatan masyarakat, mengurangi akses masyarakat terhadap pangan sehat dan berkualitas tinggi. Di sisi pasokan, krisis iklim berdampak pada produksi pertanian dan siklus panen, yang secara langsung berdampak pada kualitas dan kuantitas produksi pangan lokal yang sehat, ” jelas Raisa.
Selain itu, kata Raisa, krisis iklim telah menjadi isu kritis bagi semua negara, termasuk Indonesia yang juga meratifikasi Perjanjian Paris pada tahun 2016.
Di banyak wilayah, krisis iklim menurunkan produksi pertanian, sehingga mengancam ketahanan pangan. Berdasarkan penelitian Badan Pangan Dunia (FAO), produksi pertanian di Pulau Jawa diperkirakan akan menurun sebesar 5 persen pada tahun 2025 dan sebesar 10 persen pada tahun 2050 akibat krisis iklim.
Komitmen pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis iklim serta menyediakan pangan berkualitas baik sebenarnya tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2024. -2045.
Namun kami meyakini pelaksanaan RPJPN harus dipantau dan diintegrasikan di tingkat daerah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), kata Raisa.
Pada rangkaian Pilkada Serentak tahun ini, KPU memasukkan isu krisis iklim, lingkungan hidup, dan ketahanan pangan dalam salah satu perdebatan calon kepala daerah. Pasangan calon pemimpin daerah umumnya juga mencantumkan komitmen mengatasi krisis iklim dalam visi dan misinya.
“Namun CISDI meyakini komitmen calon utama daerah dalam menghadapi krisis iklim tetap terfokus pada pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan.” Padahal, pembangunan ekonomi harus memperhatikan dampak lingkungan dan keadilan sosial bagi masyarakat, pungkas Raisa.