Categories
Sains

Ini yang Tejadi pada Tubuh Manusia di Kedalaman 3.800 Meter

LONDON – Pernahkah Anda terpikir untuk menyelam ke dasar lautan, hingga 3.800 meter di bawah permukaan bumi? Sebuah simulasi menakutkan baru-baru ini mencoba menunjukkan apa yang akan terjadi pada tubuh manusia dalam kondisi yang tidak terbayangkan ini.

Bagi kebanyakan orang, menyelam hingga kedalaman 40 meter di bawah permukaan laut dianggap sebagai batas aman.

Berdasarkan pemberitaan Unilad, Minggu (6/9/2024), melewati batas tersebut dan memasuki wilayah bawah laut dapat menimbulkan risiko yang tidak terduga.

Bayangkan tekanan air di kedalaman 20 meter tiga kali lebih besar dari tekanan di permukaan. Tekanan ini akan terus bertambah dan semakin dalam. Pada ketinggian 3.800 meter, tekanan air mencapai 380 kali tekanan atmosfer!

Untuk memahami konsekuensinya, para ilmuwan telah menciptakan simulasi yang menakutkan. Simulasi ini menunjukkan bagaimana tubuh manusia runtuh di bawah tekanan yang ekstrim.

Tekanan yang tinggi akan menghancurkan rongga-rongga udara dalam tubuh, seperti paru-paru dan sinus. Akibatnya, paru-paru kolaps dan cairan tubuh masuk ke aliran darah. Kematian tidak bisa dihindari.

Simulasi ini tidak hanya sekedar menakut-nakuti, namun memberikan gambaran tentang batas kemampuan manusia dalam menghadapi alam ekstrim.

Laut dalam adalah dunia yang aneh dan berbahaya, dan bagi manusia, memasukinya tanpa perlindungan yang memadai sama saja dengan bunuh diri.

Tekanan air di kedalaman 3.800 meter mencapai 380 kali lipat tekanan atmosfer, cukup untuk menghancurkan lubang-lubang udara di tubuh manusia.

Categories
Sains

Ilmuwan Sebut Kehidupan Adalah Konsekuensi Entropi

LONDON – Pertanyaan tentang bagaimana kehidupan pertama kali muncul di Bumi masih menjadi misteri besar.

Baca Juga – Arkeolog Israel Temukan ‘Wajah Tuhan’

Para ilmuwan mempunyai banyak teori tentang bagaimana kehidupan dimulai, seperti ventilasi dekat hidrotermal yang memicu reaksi kimia yang menghasilkan organisme pertama.

Seperti dilansir IFL Science, beberapa ilmuwan berpendapat ada penjelasan yang lebih mendasar, yakni kehidupan merupakan konsekuensi entropi.

Entropi adalah ukuran ketidakteraturan dalam suatu sistem. Ketika suatu sistem memiliki entropi tinggi (atau ketidakteraturan tinggi), komponen-komponennya dapat diganti, dan hasilnya akan hampir sama.

Namun, ada benda mirip kehidupan di alam semesta yang memiliki entropi rendah. Hal ini tampaknya melanggar hukum kedua termodinamika (entropi dalam sistem tertutup selalu meningkat, atau segala sesuatu cenderung tidak teratur).

Namun kenyataannya tidak demikian. Kehidupan tidak melanggar hukum kedua karena ia mengambil energi dari lingkungan, dan mengeluarkan energi untuk menurunkan entropi untuk sementara, seperti saat Anda mendorong salju menjadi bentuk manusia salju, menciptakan keteraturan sementara, hingga entropi menariknya kembali ke dalam kekacauan.

Mengingat keseluruhan sistem (termasuk sumber energi kehidupan dan panas yang memberi kehidupan), seluruh sistem bergerak menuju entropi.

Hukum statistik alam semesta ini pertama kali ditemukan oleh Rudolf Clausius yang menyatakan bahwa kalor mengalir dari benda yang bersuhu lebih tinggi ke benda yang bersuhu lebih rendah, bukan sebaliknya. Menurut Inggris, kehidupan dan struktur mirip kehidupan muncul di lingkungan yang kompleks dan kacau melalui cara yang lebih baik dalam mendistribusikan panas ke seluruh lingkungan.

Dengan kata lain, kehidupan dan struktur mirip kehidupan muncul sebagai akibat dari entropi karena kemampuannya mendistribusikan panas.

Dalam sebuah makalah, Inggris mensimulasikan sup kompleks yang terdiri dari 25 bahan kimia dengan berbagai tingkat energi yang diterapkan pada suatu sistem untuk “memaksa” terjadinya reaksi kimia, seperti halnya sinar matahari menginduksi produksi ozon di atmosfer kita (terima kasih, entropi).

Gagasan bahwa kehidupan adalah konsekuensi entropi merupakan gagasan yang menarik dan menantang. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan bukan sekedar hasil peristiwa acak, melainkan hasil hukum dasar fisika.

Meski penelitian ini masih dalam tahap awal, penelitian ini akan membantu kita lebih memahami asal usul kehidupan di Bumi dan tempat lain di alam semesta.

Categories
Lifestyle

Selain Manusia, Peneliti Temukan Hewan Juga Suka Bercanda dan Punya Selera Humor

bachkim24h.com, Jakarta – Orang suka tertawa, sehingga hal-hal lucu diapresiasi sejak kecil. Buktinya terlihat ketika bayi berusia tiga bulan terkikik-kikik saat orang tuanya memasang wajah lucu. Pada usia delapan bulan, bayi manusia telah belajar menggunakan wajah, tubuh, dan suaranya untuk membuat orang dewasa tertawa.

Melansir BBC, Selasa 27 Februari 2024 Penelitian baru menunjukkan bahwa bukan hanya orang yang menyukai komedi. Isabel Laumer, peneliti pascadoktoral di Universitas California, Los Angeles (UCLA), mempelajari lebih dari 75 jam video kera besar berinteraksi satu sama lain dan mempelajari perilaku lucu hewan tersebut.

Kera besar merupakan kerabat dekat manusia. Orangutan, simpanse, bonobo, dan gorila yang menjadi subjek penelitian ini tinggal di kebun binatang dan difilmkan dalam aktivitas sehari-harinya.

Para peneliti telah mengidentifikasi setidaknya 18 perilaku humoral yang berbeda, lima yang paling umum adalah monyet mendorong, memukul, memblokir, memukul tubuh, dan menarik bagian tubuh.

“Yang sering kita lihat adalah seekor monyet muda yang menyelinap di belakang seekor monyet dewasa, yang sibuk merawat monyet lainnya, lalu mendorong atau memukul punggungnya, terkadang memukulnya,” kata Laumer. Ini juga mengejutkan.

Menurut peneliti, jenis humor ini mirip dengan lelucon manusia. Hal ini dilakukan dengan sengaja dan terus menerus hingga kera memberikan respon.

Namun, banyak ilmuwan percaya bahwa humor di dunia hewan jauh lebih umum dibandingkan spesies tertentu. Misalnya, ahli biologi Charles Darwin menulis dalam bukunya “The Descent of Man” bahwa anjing dapat memiliki selera humor. Jika Anda pernah melihat atau melihat seekor anjing bermain dengan Anda, Anda pasti pernah mendengarnya menggeram, yang terdengar seperti tawa.

Dalam sebuah penelitian tahun 2005, ahli perilaku hewan Patricia Simont memainkan suara permainan anjing kepada sekelompok anjing di tempat penampungan hewan. Dia menemukan bahwa mendengar “tawa” membuat stres anjing yang berlindung berkurang.

Mark Bekoff, seorang profesor ekologi dan biologi evolusi di Universitas Colorado di Boulder, mengatakan anjing memiliki perilaku lucu yang mirip dengan kera besar. Misalnya, ketika seekor anjing mencoba mengajak pasangannya yang enggan bermain, dia bercanda lalu lari.

“Saya pernah melihatnya pada rubah, serigala, dan anjing hutan,” kata Bekoff.

Jeffrey Bergdorf, seorang profesor peneliti di Northwestern University di Illinois, telah mempelajari bagaimana tikus merespons gelitian selama hampir satu dekade. Bergdorf menemukan bahwa ketika tikus digelitik, mereka mengeluarkan suara kegembiraan yang mirip dengan tawa.

“Kami menemukan bahwa hewan-hewan tersebut sangat berhati-hati saat mengeluarkan suara tawa,” kata Bergdorf.

Menurut penelitian dari Universitas Humboldt di Berlin, tikus kembali digelitik dan bahkan bisa diajari bermain petak umpet dengan imbalan hadiah. Kini hasil penelitian Bergdorff tentang tawa pada tikus dikembangkan untuk mengatasi depresi.

Selain itu, peneliti lain mencatat bahwa lumba-lumba dan gajah mengeluarkan suara yang menarik saat bermain. Beberapa burung beo juga suka menggoda dan membingungkan anjing peliharaan. Selera humor ini juga ditemukan pada spesies seperti kuda, beruang madu, dan macaw merah.

Walaupun hewan-hewan di atas terdengar tertawa saat bermain atau bercanda, apakah tawa mereka membuktikan bahwa hewan memiliki selera humor?

Banyak bukti bahwa hewan memiliki selera humor masih bersifat anekdot karena hanya sedikit penelitian skala besar yang dilakukan. Sulit juga untuk mengetahui mengapa seekor binatang berperilaku lucu.

“Apakah menurut saya hewan punya selera humor? Ya, menurut saya memang begitu, tapi sulit dibuktikan,” aku Bekoff.

Ada juga pertanyaan tentang tujuan evolusi humor pada hewan, karena pada manusia tertawa berevolusi sebagai cara untuk membentuk ikatan pribadi. Bisakah humor memainkan peran serupa pada hewan?

“Pada manusia, humor dapat meruntuhkan hambatan sosial dan bertindak sebagai pemecah kebekuan, memperkuat hubungan,” kata Laumer.

“Kami tidak tahu apakah hal yang sama terjadi pada monyet atau hewan lain, tapi mungkin saja. Kami perlu menguji dan mengamati lebih banyak kelompok primata dan spesies lain untuk mengetahui secara pasti,” tambah Laumer.