Categories
Kesehatan

Buka Warung Makan di Siang Hari Selama Ramadhan, Bagaimana Hukumnya?

bachkim24h.com, Jakarta – Beberapa pemilik warung makan atau restoran buka pada siang hari dan menjual makanan selama Ramadhan. Biasanya warung atau tempat makan ditutup dengan tirai untuk menghormati orang yang sedang berpuasa.

Pertanyaannya, bagaimana hukumnya pemilik toko membuka warung makan di siang hari saat Ramadhan?

Menanggapi hal tersebut, Ustas Muhammad Zainul Mila, Pengurus Pondok Pesantren Fatul Ulum Wonodadi Blitar mengatakan, upaya mencari harta halal patut diapresiasi.

Rabu (4/3/2024), NU Online mengutip ucapan Zainul, “Mencari harta yang halal adalah kewajiban setiap umat Islam, dan Allah menyukai pekerja yang mau bekerja.

Hadits Marfu yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas menyatakan:

Semoga Allah memberkatinya dan memberinya kedamaian dan keberkahan ُؤْمِنَ الْمُحْتَرِفَ

Ini berarti:

“Mencari penghidupan yang halal adalah jihad, dan Allah menyukai hamba-hamba yang beriman yang bekerja.” (HR Al-Hakim At-Tirmizi, At-Tabarani dan Al-Bayhaqi).

Adapun hukum menjual makanan pada siang hari di bulan Ramadhan pada prinsipnya diperbolehkan.

Namun jika ada dugaan atau keyakinan yang kuat digunakan untuk tujuan maksiat, seperti dimakan oleh orang yang ingin berpuasa Ramadhan, maka penjualannya menjadi haram, jelas Zainul.  

Dikatakannya, jual beli merupakan suatu akad atau transaksi yang diperbolehkan menurut hukum Islam sepanjang syarat-syaratnya terpenuhi. Barang-barang yang diperjualbelikan diantara mereka harus merupakan barang-barang bermanfaat yang halal dalam Islam. Termasuk penjualan beras di warung makan.

Al-Qur’an pada surat Al-Baqarah ayat 275 menjelaskan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.  

Meskipun hukum jual beli diperbolehkan oleh syariat, namun jika ada kemungkinan disalahgunakan untuk tujuan maksiat, maka hukum tersebut dapat diubah.

Hukum jual beli itu makruh jika hanya ada ketakutan akan dimanfaatkan secara maksiat. Sedangkan jika ada dugaan atau anggapan serius digunakan secara maksiat, maka hukum jual beli menjadi haram. 

Salah satu bentuk kemaksiatan adalah tidak berpuasa bagi orang yang wajib berpuasa dan tidak ada umur atau alasan yang membolehkannya untuk tidak berpuasa. Misalnya wanita yang sedang haid, wanita setelah melahirkan, orang sakit atau musafir yang menempuh jarak yang dibolehkan (kurang lebih 81 km) setelah shalat Qasr.  

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka hukum mengenai pembukaan toko makanan pada siang hari bulan Ramadhan dijelaskan sebagai berikut: Ya

Boleh, jika pembeli menjamin tidak akan menggunakannya untuk tujuan maksiat, yaitu jika pembeli tidak diwajibkan berpuasa. Seperti anak kecil, wanita haid, orang sakit, dan musafir.

Atau pembelinya mungkin seseorang yang diwajibkan berpuasa, namun karena nasi yang dibelinya dibungkus dan dibawa pulang, maka nasi tersebut mungkin siap berbuka puasa atau bisa jadi pilihan untuk keluarga. Berpuasa seperti anak-anaknya.    Makruh

Kalau ada rasa takut berbuat maksiat maka makruh. Misalnya ada pembeli yang diwajibkan berpuasa, dan penjualnya takut makan nasi di hari wajib puasa.   haram

Haram apabila ada dugaan atau anggapan yang kuat digunakan untuk maksiat. Kalau pembelinya, seperti yang kalian tahu, adalah orang yang wajib berpuasa, dan penjualnya pasti akan memakannya di siang hari.

Misalnya penjual mengetahui bahwa pembelinya wajib berpuasa, namun sering kali tidak berpuasa.

Mengenai kasus serupa, Syekh Zakariyya al-Ansari menjelaskan dalam bukunya Fatul Wahhab: 

 وَبَيْعِ نَحْوِ رُطَبٍ) كَعِنَبٍ (لِمُتَّberdiri أَوْ تَوَهَّمَهُ مِنْهُ فَا لْبَيْعُ لَطَبٍ) كَعِنَبٍ مَعْ$  

Ini berarti:

“Menjual kurma segar, seperti anggur, kepada seseorang yang mengolahnya menjadi minuman beralkohol adalah tindakan ilegal, mengetahui atau mencurigai kuat bahwa penjual akan menggunakannya. Namun jika dia ragu atau menduga-duga, maka jual belinya adalah Makruh. “Hukumnya haram atau makruh karena penjualan itu menjadi sebab terjadinya maksiat yang nyata atau yang diduga atau dugaan atau dugaan maksiat.” (Abu Yahya Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahhab, [Beirut, Darul Poleh Al-Ilmiya: 2017], Juz I, halaman 286).