Categories
Sains

Ilmuwan Berhasil Hilangkan HIV dari Sel Tubuh dengan Teknologi CRISPR

LONDON – Para ilmuwan telah mengambil langkah penting dalam memerangi HIV dengan menggunakan teknologi pengeditan gen CRISPR untuk menghilangkan virus dari sel.

Baca Juga – Pengobatan Tersedia, Ketua Satgas HIV Anak IDAI memberikan masukan mengenai tes HIV pada ibu hamil

Teknologi yang ibarat gunting pada tingkat molekuler ini mampu memotong DNA dengan efisiensi tinggi untuk menonaktifkan atau menghilangkan virus HIV.

Temuan awal ini, yang dipresentasikan oleh tim ilmuwan dari Universitas Amsterdam pada konferensi medis, menunjukkan bahwa CRISPR dapat menjadi alat yang menjanjikan untuk melawan HIV.

Dr James Dixon, pakar HIV di Universitas Nottingham, mengatakan bahwa penelitian ini harus terus membuktikan efektivitas dan keamanan CRISPR dalam pengobatan HIV.

“Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menunjukkan bahwa hasil percobaan sel ini dapat dibawa ke seluruh tubuh untuk pengobatan di masa depan. Diperlukan lebih banyak penelitian sebelum hal ini dapat terjadi. Dampak sukarela pada orang yang hidup dengan HIV,” kata James, seperti dilansir dari The Sun. Wali. .

Namun, para peneliti mengatakan bahwa penelitian ini masih dalam tahap awal dan belum ada solusi permanen terhadap HIV.

CRISPR telah berhasil membasmi HIV dari bakteri di laboratorium. Penelitian ini masih dalam tahap awal (proof-of-concept) dan belum diuji pada manusia.

Diperlukan lebih banyak penelitian untuk memastikan efektivitas dan keamanan CRISPR dalam melawan HIV dalam tubuh manusia. Obat HIV yang ada saat ini hanya membunuh virusnya, bukan menghilangkannya.

Meski masih banyak tantangan yang harus diatasi, temuan ini memberikan harapan baru bagi pasien HIV. Teknologi CRISPR berpotensi menjadi alat ampuh untuk memberantas HIV dari tubuh manusia di masa depan.

Categories
Kesehatan

Infeksi Menular Seksual Termasuk HIV Jadi Ancaman dengan 2,5 Juta Kematian per Tahun, Epidemiolog: Termasuk di Indonesia

bachkim24h.com, Jakarta – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan epidemi HIV, virus hepatitis, dan infeksi menular seksual (IMS) lainnya menyebabkan 2,5 juta kematian setiap tahunnya.

Terkait data tersebut, ahli epidemiologi Dicky Budiman menanggapinya. Menurutnya, penyakit kelamin atau penyakit seksual menjadi ancaman bagi dunia, bahkan di Indonesia.

“Ini merupakan ancaman serius bagi masyarakat dan ini berlaku atau terjadi di Indonesia, dimana program pengendalian penyakit menular seksual di Indonesia masih menjadi tantangan yang serius dan juga menghadapi kendala yang serius,” kata Dicky kepada Health bachkim24h.com, dikutip Jumat. (24/2). 5/2024).

Dicky menambahkan, beberapa kendala yang masih ada di Indonesia terkait IMS adalah adanya stigma, kerahasiaan, dan ambivalensi. Dengan kata lain, di satu sisi masih ada pelarangan terhadap program-program seperti pembagian kondom, dan lain-lain. Namun di sisi lain, perilaku seksual bebas yang tidak aman dan berbahaya masih marak terjadi.

“Di satu sisi mengarah pada pelarangan program seperti kondom dan lainnya karena berbagai alasan. Di sisi lain, kenyataan di lapangan perilaku seksual bebas, tidak aman, dan tidak sehat juga semakin meningkat. Terutama di kalangan remaja dan remaja. termasuk ada orang dewasa junior.”

Dibandingkan era sebelumnya, lanjut Dicky, akses terhadap perilaku seksual bebas kini lebih mudah.

“Jual atau jualan seks kini semakin mudah berkat media sosial dengan berbagai aplikasi. Mau tidak mau, hal ini menjadi ancaman yang sangat besar dalam kasus penyakit menular seksual seperti hepatitis dan HIV,” jelas Dicky.

Mengingat hubungan seks yang ceroboh dapat memicu ledakan kasus IMS, maka semua pihak harus mewaspadainya.

“Ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan berbagai komponen masyarakat, peneliti perguruan tinggi. Saat ini Indonesia belum memiliki komisi penanggulangan AIDS. Menurut saya, aktivitasnya kurang, LSM kurang aktif dan aktivitas lainnya dibandingkan dengan era tahun 2000.”

Padahal, ancaman dan situasinya lebih serius. Itu menunjukkan ada sesuatu yang kontradiktif dan berbahaya, jelas Dicky.

Dalam laporan terbarunya, WHO menjelaskan bahwa pada tahun 2022, negara-negara anggotanya telah menetapkan target ambisius untuk mengurangi jumlah infeksi sifilis setiap tahunnya pada orang dewasa. Angka ini menunjukkan peningkatan sepuluh kali lipat pada tahun 2030, dari 7,1 juta menjadi 0,71 juta. Namun kasus baru sifilis pada orang dewasa berusia 15 hingga 49 tahun akan meningkat lebih dari 1 juta pada tahun 2022 menjadi 8 juta. Peningkatan tertinggi terjadi di kawasan Amerika dan Afrika.

Selain kegagalan dalam mengurangi jumlah infeksi baru HIV dan hepatitis, laporan ini juga menandai ancaman terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030.

Meningkatnya kejadian sifilis menimbulkan kekhawatiran besar. Untungnya, terdapat kemajuan signifikan di beberapa bidang lain, termasuk mempercepat akses terhadap komoditas kesehatan penting, termasuk diagnosis dan pengobatan, Direktur Jenderal WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus ungkapnya dalam keterangan resmi yang dirilis pada Selasa, 21 Mei 2024.

“Kita mempunyai alat yang kita butuhkan untuk mengakhiri epidemi ini sebagai ancaman kesehatan masyarakat pada tahun 2030. Namun kita harus memastikan bahwa, dalam konteks dunia yang semakin kompleks, negara-negara melakukan semua yang mereka bisa untuk mencapai tujuan ambisius yang telah ditetapkan. ” tambah.

Tedros menambahkan, setidaknya ada empat IMS yang bisa diobati, yakni sifilis (Treponema pallidum), gonore (Neisseria gonorrhoeae), klamidia (Chlamydia trachomatis), dan trikomoniasis (Trichomonas vaginalis). Namun, keempat IMS ini menyebabkan lebih dari 1 juta infeksi per hari.

Laporan WHO mencatat adanya peningkatan sifilis pada orang dewasa dan ibu (1,1 juta) serta sifilis kongenital terkait (523 kasus per 100.000 kelahiran hidup per tahun) selama pandemi COVID-19.  Sedangkan pada tahun 2022, akan terdapat 230.000 kematian terkait sifilis.

Data terbaru juga menunjukkan peningkatan gonore yang resistan terhadap beberapa obat. Pada tahun 2023, dari 87 negara yang melakukan peningkatan pengawasan resistensi antimikroba pada gonore, sembilan negara melaporkan peningkatan tingkat resistensi (dari 5% menjadi 40%) terhadap ceftriaxone, pengobatan lini terakhir untuk gonore.

WHO sedang memantau situasi ini dan memperbarui pengobatan yang direkomendasikan untuk mengurangi penyebaran gonore multi-resisten jenis ini.

Sedangkan pada tahun 2022, terdapat sekitar 1,2 juta kasus baru hepatitis B dan hampir 1 juta kasus baru hepatitis C.

Perkiraan jumlah kematian akibat virus hepatitis meningkat dari 1,1 juta pada tahun 2019 menjadi 1,3 juta pada tahun 2022 meskipun terdapat alat pencegahan, diagnosis, dan pengobatan yang efektif.

Sedangkan infeksi HIV baru hanya akan menurun dari 1,5 juta pada tahun 2020 menjadi 1,3 juta pada tahun 2022.

Kasus-kasus ini lebih sering terjadi pada lima kelompok populasi utama, yaitu: Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki. Pengguna narkoba suntik. Pekerja sex transgender Orang yang berada di penjara dan tempat tertutup lainnya.

Angka prevalensi HIV lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Sekitar 55% infeksi HIV baru terjadi pada populasi ini dan pasangannya.

Kematian terkait HIV juga masih tinggi. Pada tahun 2022, akan terdapat 630.000 kematian terkait HIV, 13% di antaranya terjadi pada anak-anak di bawah usia 15 tahun.

Categories
Kesehatan

Cerita Dinkes DKI Gagas Layanan Pengantaran Obat ARV untuk ODHIV, Dulang Apresiasi

bachkim24h.com, Jakarta – Pandemi COVID-19 memaksa layanan kesehatan di wilayah DKI Jakarta untuk bertukar pikiran agar Orang dengan HIV (ODHIV) bisa tetap mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) secara rutin.

Seperti yang Anda ketahui, selama epidemi masyarakat disarankan untuk tinggal di rumah untuk menghindari penularan. Terutama kelompok rentan seperti pengidap HIV yang lebih rentan terhadap penyakit.

Hal inilah yang menjadi dasar Kementerian Kesehatan DKI meluncurkan layanan pengiriman obat ARV – Jak-Anter. Tujuannya untuk menjamin keberlangsungan pengobatan ARV bagi ODHA di masa pandemi COVID-19.

Jak-Anter diaktifkan pada April 2020 sebagai tanggap darurat COVID-19 melalui proyek LINKAGES EpiC dengan dukungan USAID.

Kini, melalui kerja sama dengan pihak swasta Good Doctor, layanan tersebut dihadirkan dalam platform digital yang dapat diakses dengan mudah di aplikasi Grab Health. Dalam waktu singkat, layanan ini telah memperluas fasilitas kesehatan mitranya hingga mampu menjangkau lebih banyak pengidap HIV di DKI Jakarta.

Integrasi layanan Jak-Anter dengan aplikasi ini akan diaktifkan pada April 2023. Integrasi ini merupakan inovasi dalam pelayanan pengguna HIV-AIDS dengan memberikan konsultasi melalui telepon dengan dokter puskesmas dan dilanjutkan langsung dengan pemberian obat ARV.

Setelah berkonsultasi dengan dokter melalui aplikasi, resep elektronik akan dikirim ke bagian farmasi rumah sakit dan sistem akan mengaktifkan layanan kurir untuk pengiriman obat ARV ke alamat tujuan. Layanan Jak-Anter yang terintegrasi dalam aplikasi memfasilitasi konsultasi, pemesanan, dan pengantaran obat-obatan secara berkelanjutan oleh ODHA dan tenaga kesehatan.

Pada awal kerja sama, Dinas Kesehatan DKI Jakarta menunjuk 11 puskesmas dan satu klinik swasta untuk terlibat dalam tahap uji coba Jak-Anter menggunakan aplikasi tersebut.

Kini fasilitas kesehatan yang terlibat dalam layanan ini telah berkembang menjadi lebih dari 40 puskesmas di DKI Jakarta. Bahkan, saat ini Jak-Anter sedang dalam proses ekspansi ke berbagai rumah sakit yang melayani ODHA.

Oleh karena itu, semakin banyak fasilitas kesehatan yang berpartisipasi dalam layanan Jak-Anter, maka semakin banyak pula klien HIV-AIDS di DKI Jakarta yang merasakan manfaat layanan tersebut.

Hasil kerjasama antara instansi pemerintah dan swasta ini pun mendapat respon positif dari perwakilan negara lain pada Fast Track Cities World Conference 2023 di Amsterdam, Belanda.

Hal tersebut dikatakan Kepala Puskesmas Daerah Data dan Teknologi Informasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta, dr Verry Adrian, M. Epid.

“Pada Fast Track Cities 2023 di Amsterdam, saya menjelaskan layanan Jak-Anter sebagai upaya Jakarta dalam pengendalian HIV melalui kolaborasi dengan pihak swasta untuk mendukung pengobatan HIV di rumah,” jelas Vari dalam keterangan pers dikutip, Jumat (23/2). 2024).

“Dengan adanya layanan Jak-Anter ini, kami berharap tidak ada lagi klien HIV-AIDS di DKI Jakarta yang tertinggal dalam mendapatkan layanan kesehatan,” imbuhnya.

Jasa Jak-Anter diapresiasi oleh berbagai negara peserta konferensi tersebut. Pada forum ini, Veri berbagi praktik baik kolaborasi pemerintah dan swasta untuk memastikan inovasi yang mereka luncurkan berjalan lancar.

Dalam keterangan yang sama, Direktur Divisi Kesehatan USAID Indonesia Anilda Martin mengatakan perluasan layanan Jak-Anter ke sebagian besar puskesmas di DKI Jakarta memberikan kemudahan bagi pengidap HIV. Terutama untuk mengakses layanan kesehatan yang cepat dan efisien tanpa harus keluar rumah.

“Integrasi layanan dengan aplikasi telah memberikan kontribusi signifikan terhadap kemajuan teknologi kesehatan di Indonesia dan memberikan manfaat penting bagi pasien,” kata Alinda.

Sementara itu, Project Manager EpiC Indonesia Erlian Aditya mengatakan meski jumlah pasien yang menggunakannya tidak banyak dan promosi harus ditingkatkan, Jak-Anter memberikan opsi yang berpusat pada pengguna.

“Sehingga ODHA dapat terus mengakses obat ARV dimanapun berada dan membantu petugas kesehatan mengatur proses penyediaan obat ARV di rumah sakit.”

Vice President Operasi Medis PT Good Doctor Technology, Dr. Aga Bonar Bastari mengatakan: “Kami senang dan bangga di satu sisi semakin banyak fasilitas kesehatan yang terlibat dalam layanan Jak-Anter dan di sisi lain pengakuan dunia internasional atas layanan ini.”

“Pencapaian ini memperkuat keyakinan kami bahwa telemedis dapat mengatasi hambatan penanganan HIV-AIDS yang memerlukan pengobatan ARV seumur hidup,” kata Aga.