Categories
Kesehatan

Perbedaan Luka di Mulut Akibat Flu Singapura atau HFMD dengan Sariawan Biasa

bachkim24h.com, Jakarta Hand Foot Mouth Disease (HFMD) atau disebut juga flu Singapura bisa menimbulkan gejala luka atau luka di mulut, seperti sariawan.

Namun luka akibat HFMD berbeda dengan luka yang biasa dialami orang. Menurut dokter spesialis anak Edi Hartoyo, perbedaannya terletak pada lokasinya.

Bedanya di lokalisasinya, kalau sariawan biasa biasanya hanya di mulut, sedangkan flu singapura menimbulkan rasa nyeri di mulut dan kuku, serta terdapat lesi di telapak kaki, tangan, dan mulut. dia berkata. Edi dalam temu media online bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada Selasa, 2 April 2024.

Jadi kalau sariawannya biasa saja, di mulut saja, tapi kalau di tangan, kaki, dan mulut berarti HFMD atau flu Singapura, imbuhnya.

Namun jika dilihat dari ciri dan bentuknya, lesi pada mulut akibat HFMD biasanya mirip dengan sariawan pada umumnya.

“Manifestasi gangguan rongga mulut hampir sama dengan kasus sariawan, karena terkadang anak tidak mau makan.”

Selain di mulut, HFMD juga menimbulkan gejala lecet atau lepuh berisi cairan pada telapak tangan dan telapak kaki. Gejalanya juga mirip dengan penyakit lain yaitu cacar air.

Edi menjelaskan, HFMD dan cacar air merupakan dua penyakit berbeda. Dalam hal lesi atau resistensi flu Singapura, lesi tersebut mungkin hilang dengan sendirinya karena tidak mencapai lapisan dalam kulit. Sedangkan lesi cacar air cenderung lebih dalam sehingga menimbulkan bekas luka dan lebih sulit dihilangkan.

Perbedaan kedua antara HFMD dan cacar air adalah kemampuan virus dalam membangun kekebalan pada penyintasnya.

Virus penyebab flu Singapura tidak menimbulkan kekebalan. Berbeda dengan virus cacar air yang menimbulkan kekebalan pada tubuh. Oleh karena itu, cacar air jarang terjadi di kemudian hari karena tubuh sudah kebal.

Artinya, kalau musim ini tertular flu Singapura, musim depan bisa tertular lagi kalau bersentuhan. Jadi tidak ada kekebalan terhadap HFMD, masih bisa tertular, jelas Edi.

Sebelumnya dijelaskan Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama di HFMD.

Nama sebenarnya penyakit ini adalah penyakit mulut tangan (HFMD) atau penyakit mulut tangan (PTKM) yang sering disalahartikan sebagai flu Singapura, jelas Tjandra pada Sabtu, 30 Maret 2024.

HFMD merupakan penyakit yang sebenarnya cukup umum terjadi pada bayi dan anak-anak.

Masa inkubasi penyakit ini 3-7 hari, ciri-ciri : Demam. Munculnya ruam (ruam kulit) dan lepuh (benjolan kecil) pada selaput lendir kaki, tangan, dan mulut. Penderita biasanya tidak nafsu makan. Ketidaknyamanan dan nyeri di tenggorokan.

Biasanya setelah satu atau dua hari demam, timbul keluhan sakit mulut yang melepuh dan kemudian menjadi dahak. Perubahan bisa terjadi pada lidah, gusi atau bagian mulut lainnya.

Tjandra menambahkan, HFMD bukanlah penyakit serius dan akan sembuh dalam waktu 7-10 hari. Sedangkan pengobatannya hanya bersifat suportif.

HFMD biasanya disebabkan oleh enterovirus, termasuk coxsackievirus A16, EV 71, dan echovirus.

Faktanya, dalam kasus yang sangat-sangat jarang, HFMD yang disebabkan oleh EV 71 dapat menyebabkan meningitis bahkan meningitis. Infeksi EV 71 dimulai di saluran pencernaan, yang kemudian menyebabkan gangguan neurologis. Selain itu, HFMD yang disebabkan oleh coxsackievirus A16 juga dapat menyebabkan meningitis.”

Meski bukan penyakit serius, HFMD cukup menular, lanjut Tjandra. HFMD dapat menular melalui kontak langsung dengan cairan dari hidung dan tenggorokan, air liur, serta cairan dari kandung kemih atau tinja penderita.

“Masa penularan tertinggi terjadi pada minggu pertama infeksi.”

Tidak ada pencegahan khusus terhadap HFMD, namun risiko penularan dapat dikurangi dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), seperti mencuci tangan pakai sabun (CTPS).

“Jika keluhannya signifikan, ada baiknya menghubungi petugas kesehatan terdekat,” tutupnya.

Categories
Kesehatan

Prevalensi Kasus Flu Singapura atau HFMD Terbanyak di Negara Tropis dan Subtropis

bachkim24h.com, Jakarta Kasus flu Singapura atau penyakit tangan, kaki, dan kaki (HFMD) meningkat di Indonesia. Peningkatan ini menarik perhatian pakar kesehatan global dan ahli epidemiologi Dickie Budiman.

Menurut Dickey, HFMD tersebar di seluruh dunia, namun prevalensinya lebih besar di daerah tropis dan subtropis.

“Penyakit ini sering terjadi secara musiman, dengan puncak kasus biasanya terjadi pada musim panas dan awal musim gugur di banyak daerah,” kata Dickey kepada Health bachkim24h.com melalui pesan singkat yang dikutip Rabu (20/3/2024).

Virus yang paling sering menyebabkan HFMD adalah Enterovirus A71 (EV-A71) dan Coxsackievirus A16 (CV-A16), meski ada jenis enterovirus lain yang juga dapat menyebabkan penyakit ini.

Dickey menambahkan, HFMD merupakan masalah kesehatan yang signifikan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Beberapa negara di kawasan ini telah melaporkan wabah HFMD dalam jumlah besar, dengan jumlah kasus yang signifikan, terutama di kalangan anak-anak.

Faktor-faktor seperti sanitasi yang buruk, kepadatan penduduk yang tinggi, dan mobilitas manusia yang tinggi berkontribusi terhadap penyebaran penyakit ini, jelas Dickey.

Lebih lanjut, kata dia, populasi global diperkirakan akan terus meningkat dari sekitar 7,8 miliar pada tahun 2021 menjadi lebih dari 9 miliar pada tahun 2030. Dengan demikian, jumlah anak balita yang rentan terkena HFMD juga akan meningkat.

Di sisi lain, lanjut Dickey, mobilitas manusia yang tinggi, baik dalam bentuk perjalanan lokal maupun internasional, meningkatkan risiko penyebaran HFMD di seluruh dunia.

Daerah dengan kepadatan penduduk tinggi juga cenderung memiliki lebih banyak kasus HFMD. Prediksi akan berlanjutnya urbanisasi meningkatkan kebutuhan untuk mengatasi masalah ini di lingkungan perkotaan.

Berdasarkan tren epidemiologi, kasus HFMD diperkirakan akan terus ada dan mungkin meningkat, terutama di daerah yang infrastruktur kesehatannya buruk, kata Dickey.

Peningkatan kasus juga diperkirakan terjadi di Indonesia. Apalagi Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan terus mengalami pertumbuhan penduduk yang signifikan. Dengan demikian, jumlah anak di bawah 5 tahun yang rentan terkena HFMD akan semakin meningkat.

“Data epidemiologi lokal menunjukkan bahwa HFMD merupakan masalah kesehatan yang signifikan di Indonesia, dengan jumlah kasus yang dilaporkan setiap tahunnya besar, terutama di daerah padat penduduk.”

Vaksinasi merupakan hal yang perlu dikembangkan untuk mengatasi HFMD. Pengembangan vaksin HFMD merupakan langkah penting dalam upaya pengendalian penyakit tersebut, kata Dickey.

Vaksin yang efektif dapat membantu mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat HFMD, serta mengurangi beban penyakit secara keseluruhan.

Kebutuhan vaksin HFMD secara global diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi dan mobilitas manusia sehingga memungkinkan virus menyebar lebih luas.

Permintaan vaksin HFMD diperkirakan akan meningkat, terutama di wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dan sanitasi buruk.

Selain vaksinasi, penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap tindakan pencegahan, antara lain:

• Cuci tangan Anda dengan benar.

• Jaga kebersihan lingkungan.

• Hindari kontak langsung dengan orang yang terinfeksi.

Pemantauan dan pengendalian penyebaran

Sistem surveilans penyakit yang efektif sangat penting untuk mendeteksi wabah HFMD secara cepat dan menerapkan tindakan pengendalian yang diperlukan.

“Langkah-langkah pengendalian penyebaran seperti isolasi, karantina, dan peningkatan kebersihan juga perlu diterapkan dengan cepat,” kata Dickey.