Categories
Kesehatan

Heatwave Melanda Negara Asia, WHO: Bencana Alam Paling Berbahaya tapi Jarang Digubris

bachkim24h.com, Jakarta – Gelombang panas atau heat wave melanda negara-negara di Asia. Bahkan di Thailand, panasnya merenggut 30 korban jiwa.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), gelombang panas yang berlangsung selama beberapa hari dapat berdampak signifikan pada masyarakat, termasuk peningkatan kematian terkait panas.

Meskipun gelombang panas dianggap sebagai salah satu bencana alam paling berbahaya, namun sering kali gelombang panas kurang mendapat perhatian karena korban jiwa dan kerusakan yang diakibatkannya tidak selalu terlihat.

Data menunjukkan bahwa lebih dari 166.000 orang meninggal akibat gelombang panas antara tahun 1998 dan 2017, termasuk lebih dari 70.000 orang ketika gelombang panas melanda Eropa pada tahun 2003.

“Paparan penduduk terhadap panas meningkat akibat perubahan iklim. Secara global, frekuensi, durasi, dan besarnya kejadian panas ekstrem tampaknya meningkat. Antara tahun 2000 dan 2016, jumlah orang yang terpapar gelombang panas meningkat sekitar 125 juta”. Situs Resmi WHO 3 Mei 2024.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan pakar kesehatan lingkungan global Dickie Budiman: “Perubahan iklim diperkirakan akan menyebabkan gelombang panas yang lebih lama, lebih intens, dan lebih sering terjadi di banyak belahan dunia.”

“Dampak negatifnya terhadap kesehatan manusia dan planet bumi bisa sangat besar,” Dicky Health mengeluarkan keterangan tertulis kepada bachkim24h.com.

Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa masyarakat merasakan dampak suhu tidak hanya di perkotaan tetapi juga di pedesaan.

Dampak panas bisa lebih buruk di perkotaan, dan efek Urban Heat Island (UHI) bisa sangat mengganggu penghidupan dan kesejahteraan masyarakat non-perkotaan selama dan setelah periode panas yang tidak biasa.

Gelombang panas dapat membebani layanan kesehatan dan darurat serta meningkatkan tekanan terhadap air, energi, dan transportasi, sehingga menyebabkan kekurangan listrik atau bahkan pemadaman listrik.

Ketahanan pangan dan mata pencaharian juga dapat terganggu jika masyarakat kehilangan hasil panen atau ternak akibat suhu ekstrem.

Menurut Dickey, untuk memitigasi dampak perubahan iklim dan pemanasan ekstrem, tindakan-tindakan berikut harus diambil di tingkat global, nasional, dan lokal: Mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kebijakan energi bersih Mengurangi deforestasi (pemanfaatan hutan untuk penggunaan lahan lainnya) Beradaptasi dengan perubahan iklim Memperkuat sistem kesehatan masyarakat dan meningkatkan pengawasan penyakit dan sistem peringatan dini.

Dickey menambahkan, negara tropis seperti Indonesia menghadapi risiko tambahan akibat perubahan iklim. Sebab, wilayah tropis umumnya lebih sensitif terhadap perubahan suhu dan curah hujan.

Dampak yang ditimbulkan antara lain peningkatan risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor serta peningkatan kejadian penyakit menular seperti malaria dan demam berdarah.

Untuk mengurangi risiko ini, Indonesia harus mengambil langkah-langkah seperti: Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan Membangun infrastruktur yang tahan bencana Meningkatkan kapasitas sistem kesehatan untuk menghadapi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan.

Mengurangi dampak gelombang panas ekstrem memerlukan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi, termasuk: peningkatan sistem peringatan dini membangun infrastruktur tahan panas mencegah dan mendidik masyarakat tentang langkah-langkah adaptasi mengurangi emisi gas rumah kaca untuk memperlambat upaya perubahan iklim secara keseluruhan