bachkim24h.com, Denpasar – Fitofarmaka atau obat tradisional yang menggunakan bahan alami dan memiliki bukti ilmiah belum masuk dalam pendanaan BPJS Kesehatan.
Menurut Ali Ghufron Mukti, Direktur Jenderal Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), masuknya fitofarmaka dalam program nasional, termasuk obat herbal, memerlukan Health Technology Assessment (HTA).
“Tidak ditentukan oleh BPJS Kesehatan. Harus dilakukan oleh HTA, mereka akan menilai dulu benar atau tidaknya (efektivitasnya),” kata Ali dalam Konferensi Internasional Teknologi Informasi dan Komunikasi Jaminan Sosial ke-17 ( ICT) di Bali pada Rabu /2024 ).
Ia mencontohkan daun pepaya mentah yang dijus lalu diminum untuk mengobati penyakit demam berdarah stadium empat atau berat. Hasilnya, penyakit demam berdarah berhasil disembuhkan dan cara ini dilakukan secara tertulis. Namun langkah tersebut saja belum cukup untuk menjadikan obat fitofarmaka ini sebagai salah satu obat yang ditanggung BPJS.
Ali Ghufron mengatakan ada proses yang harus dilalui terlebih dahulu sebelum fitofarmaka dapat ditambahkan ke dalam formulasinya.
“Fitofarmasi harus melalui proses HTA sebelum masuk ke dalam formulasi.” Namun tidak mudah untuk membuktikan fitofarmaka (efektif atau tidak) karena efektivitas saja tidak cukup bagi BPJS.”
“Harus efisien dan hemat biaya, lebih efisien. “Mungkin tidak lebih murah, tapi hemat biaya, meski mahal. Kalau efeknya lebih baik, tidak apa-apa.”
Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab apotek herbal belum ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Alih-alih menganjurkan masyarakat untuk menggunakan obat herbal, Ali Ghufron justru menyarankan masyarakat untuk menjalani pola hidup sehat.
“Kalau mau sehat, yang paling mudah dilakukan adalah kurangi garam, kurangi gula, kurangi nasi putih, olah raga, istirahat yang cukup.”
“Kalau kelima hal ini diterapkan maka BPJS (Kesehatan) tidak akan mengeluarkan banyak biaya karena masyarakat akan sehat.” BPJS Kesehatan
Di saat yang sama, Ali mengatakan BPJS Kesehatan kini tengah menjadi perhatian dunia.
Beberapa kali BPJS Kesehatan dijadikan tolak ukur karena dianggap baik dalam pelayanannya, apalagi setelah berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
ICT atau teknologi informasi dan komunikasi menjadikan layanan BPJS kesehatan lebih mudah diakses oleh masyarakat Indonesia.
Kinerja BPJS Kesehatan dinilai cukup baik, meski Indonesia terdiri dari 17 ribu pulau, namun pemanfaatannya bisa membantu masyarakat.
“Hampir tidak ada yang bisa mengalahkan BPJS Kesehatan jika memiliki data real-time yang besar dan terintegrasi, kita bisa memantau perilaku fasilitas kesehatan, rumah sakit, dan klinik di seluruh Indonesia,” kata Ali.
Ia menambahkan, banyak negara lain yang tidak memiliki 3.000 rumah sakit. Sementara itu, terdapat lebih dari 3.000 rumah sakit pemantauan di Indonesia. Melihat peluang tersebut, Indonesia kini dianggap memiliki asuransi kesehatan terbaik.
Ali mengatakan dunia pertama kali mulai menaruh perhatian pada BPJS Kesehatan ketika lembaga tersebut mulai melakukan perubahan. Badan ini diketahui selalu mengalami defisit sejak awal berdirinya.
“Tidak masalah kalau orang asing, yang ada hanya orang dalam negeri, teman-teman saya, dokter, melihat BPJS (Kesehatan) mengecewakan karena gaji tidak cukup, terlilit hutang dan macam-macam,” kenang BPJS Kesehatan. Direktur Kesehatan Ali Ghufron Mukti saat menjawab pertanyaan dari bachkim24h.com.
Melihat situasi buruk tersebut, BPJS Kesehatan akhirnya berusaha membalikkan keadaan. Mengubah situasi yang awalnya defisit menjadi positif.
“Betapa buruknya menjadi baik, betapa prosedur yang sulit menjadi mudah. Oleh karena itu, perubahan kualitas terjadi dengan cepat (diimplementasikan).
Transformasi tersebut dilakukan dengan pengembangan ICT, salah satunya mengatasi antrian yang terlalu panjang hingga enam jam. Dengan ICT, terbentuklah antrian online atau antrian online. Hal ini cukup mengurangi waktu tunggu dari enam jam menjadi 2,5 jam, bahkan ada yang menjadi 30 menit.