Categories
Kesehatan

Efek Samping Vaksin AstraZeneca Bikin Geger, Pakar: Kalau Sekarang TTS Ada di Indonesia, Bukan Karena Vaksin COVID

bachkim24h.com, Jakarta – Lebih dari 453 juta dosis vaksin Covid telah diberikan di Indonesia, termasuk 70 juta dosis vaksin AstraZeneca, menjadikannya negara terbesar keempat di dunia yang menerima vaksin COVID-19.

Meski pemantauan sudah selesai, Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Vaksinasi (Komnas KIPI) masih melakukan pemantauan.

Hingga saat ini, berdasarkan laporan yang disampaikan, belum ada kasus TTS (trombosis dengan sindrom trombositopenia) yang teridentifikasi.

Baru-baru ini, produsen vaksin AstraZeneca membuat heboh global setelah mengakui bahwa dalam banyak kasus, vaksin AstraZeneca dapat menyebabkan TTS sebagai efek samping.

TTS adalah penyakit langka yang menyebabkan pembekuan darah dan trombosit rendah. Meski jarang, namun bisa menimbulkan gejala serius.

Ketua Komnas KIPI, Prof. Hinki Hindra Erawan Satari menjelaskan, KIPI mencatat kejadian tindak lanjut pasca vaksinasi antara empat hingga 42 hari setelah vaksinasi.

Meski sekarang ada kasus TTS di Indonesia, tapi itu bukan karena vaksin COVID, karena waktunya sudah lewat, kata Hinkie dikutip dari situs Sehat Negeriku pada Jumat, 3 Mei 2024.

 

 

Hinkie juga menjelaskan, gejala trombosis bisa berbeda-beda tergantung tempat terjadinya.

Misalnya jika ditemukan di otak, gejalanya bisa berupa pusing, sedangkan di perut bisa menimbulkan mual dan nyeri kaki.

Jumlah trombosit yang rendah dapat menyebabkan pendarahan atau bintik biru di tempat suntikan.

Namun gejala tersebut akan muncul 4-42 hari setelah mendapat vaksin.

Masyarakat juga diimbau untuk melaporkan komplikasi pasca vaksinasi (KIPI) ke Komnas KIPI melalui puskesmas setempat.

Puskemas akan meneliti, menganalisa dan merujuk rumah sakit untuk ditindaklanjuti ke Pokja KIPI, yang akan membuat rekomendasi berdasarkan bukti yang ada. 

 

Prof. Hinkie menegaskan, keamanan vaksin tersebut telah melewati berbagai tahapan uji klinis, termasuk vaksin COVID-19 yang berdampak pada jutaan orang, dan keamanan vaksin tersebut akan terus dipantau setelah izin edar diberikan.

Komnas KIPI bersama Kementerian Kesehatan RI dan BPOM bersama TTS aktif memantau gejala atau penyakit yang diduga terkait dengan vaksin COVID-19.

Penelitian dilakukan selama satu tahun di 14 rumah sakit di 7 wilayah sesuai rekomendasi WHO.

Tidak ada kasus TTS yang terkait dengan vaksin AstraZeneca yang diamati pada periode tindak lanjut lebih dari 1 tahun. Oleh karena itu, Komnas KIPI melaporkan tidak ada kasus TTS terkait vaksin COVID-19 di Indonesia.

 

Categories
Kesehatan

AstraZeneca Tarik Vaksin COVID-19, Pakar Sebut Efek Samping Langka TTS Belum Tunjukkan Penambahan

bachkim24h.com, Jakarta Perusahaan vaksin AstraZeneca menarik produknya di seluruh dunia. Penarikan ini dilakukan setelah adanya diskusi mengenai efek samping dari penggumpalan darah yang jarang terjadi.

Namun AstraZeneca tidak menyebut trombositopenia menjadi alasan penarikan obat COVID-19 yang mereka kembangkan.

Terkait efek samping vaksin AstraZeneca, ahli epidemiologi Dicky Budiman mengatakan hingga Mei 2024, pihaknya belum melihat adanya lagi kasus trombosis dan trombositopenia (TTS).

“Kalau soal kasus TTS, sampai Mei ini saya belum mendapatkan kasus atau sudah tidak punya lagi. Jadi yang sering ditanyakan adalah kasus lama,” kata Dicky kepada Health bachkim24h.com melalui pesan suara, Jumat (10/5/2024).

Sedangkan masyarakat penerima vaksin AstraZeneca ditawarkan pada pertengahan atau akhir tahun 2023.

“Kalau bicara risiko efek TTS, tentu kalau itu terjadi, ada risikonya. TTS itu ada dua jenis, ada yang ringan dan ada yang berat.”

Risiko TTS biasanya kecil atau ringan, sementara ada beberapa kasus penerima vaksin yang mengalami gejala penggumpalan darah yang parah.

“Banyak orang yang mengalami gejala ringan dan sedang, mereka mungkin tidak menyadari bahwa gejalanya bisa hilang atau hilang.” Jika TTS sudah parah, bisa berakibat fatal karena terjadi emboli (penyumbatan) di paru atau jantung, yang jika tidak segera berakibat kematian. – cari tahu,” jelas Dicky.

Sebelumnya, Dicky menjelaskan, TTS merupakan suatu kondisi langka yang terjadi pasca vaksinasi COVID-19, terutama setelah mendapat vaksin AstraZeneca.

“Ini namanya kondisi khusus, artinya tidak semua orang akan seperti itu, tapi hanya sedikit dan jumlahnya sangat kecil. TTS terjadi ketika ada penggumpalan darah dan -buruk, dengan penurunan jumlah trombosit atau yang namanya trombositopenia,” jelas Dicky.

Jarangnya trombositopenia ditunjukkan dengan angkanya yang hanya 8,1 kasus per juta penerima vaksin. Saat ini, angka kematian akibat efek langka tersebut sangat jarang terjadi, yakni 1 dari sejuta orang.

“Risiko setelah menerima obat pertama AstraZeneca, risiko terjadinya TTS adalah 8,1 kasus per juta orang yang menerima vaksin, jadi sangat rendah.”

“Nah, setelah tahap kedua, (kasusnya) turun menjadi 2,3 kasus per juta orang yang menerima vaksin.” Jadi (risikonya) berkurang, jangan khawatir,” kata Dicky.

Secara sains, trombositopenia dapat terjadi akibat reaksi imun terhadap antibodi. Hal ini terjadi ketika penerima vaksin AstraZeneca membuat antibodi yang menyerang trombosit, dan memicu pembekuan darah tidak normal.

Kabar baiknya adalah pengobatan trombositopenia semakin membaik sehingga jumlah kematian akibat efek ini dapat dihindari.

“Kalau bicara pengobatan, tentu kalau ada efek samping yang harus dilakukan pertama-tama adalah segera ke dokter. Dicky bilang, harus ke rumah sakit untuk mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat.

Ia menjelaskan, efek samping TTS muncul setidaknya satu bulan setelah penyuntikan. Oleh karena itu, jika gejala muncul setelah satu bulan, maka efek ini tidak banyak berpengaruh pada vaksin.

Terkait penarikan vaksin AstraZeneca di seluruh dunia, pihak perusahaan menyebut hal itu disebabkan oleh penurunan permintaan obat COVID-19 bernama Vaxzevria.

Vaksin yang dikembangkan bekerja sama dengan Universitas Oxford ini menjadi salah satu vaksin utama melawan COVID-19 di seluruh dunia. Lebih dari 3 miliar dosis telah diberikan sejak pertama kali diberikan di Inggris pada 4 Januari 2021.

Sayangnya, vaksin tersebut belum menghasilkan pendapatan bagi AstraZeneca sejak April 2023, kata perusahaan tersebut.

AstraZeneca mengatakan dalam sebuah pernyataan, “Meskipun berbagai jenis vaksin untuk melawan COVID-19 sedang dikembangkan, terdapat keuntungan jika tersedia vaksin baru.” kata CNN, Jumat (10/5/2024).

Oleh karena itu, AstraZeneca memutuskan untuk mulai mencabut izin edar Vaxzevria di Eropa.

Categories
Lifestyle

Masyarakat Diminta Tak Khawatir Pernah Divaksin AstraZeneca, Begini Penjelasan Kemenkes

JAKARTA – Vaksin AstraZeneca bisa menyebabkan TTS atau trombosis disertai trombositopenia atau pendarahan. Penerima vaksin AstraZeneca takut melihatnya.

Direktur Kantor Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menegaskan, masyarakat Indonesia yang menerima vaksin AstraZeneca pada masa pandemi beberapa tahun lalu tidak perlu khawatir.

Saya sampaikan masyarakat tidak perlu khawatir karena Komnas KIPI belum menerima informasi mengenai TTS atau transfusi darah dari vaksin AstraZeneca di Indonesia, kata Siti Nadia saat ditemui di Hotel Moritz, Senin. (6/5/2024).

Mengenai efek vaksin AstraZeneca, Siti Nadia menjelaskan, waktu penyuntikan dan efek vaksin adalah empat hingga 42 hari dan enam bulan setelah penyuntikan terakhir.

Dengan kata lain, jika seseorang sudah mendapat vaksin AstraZeneca lebih dari enam bulan dan memiliki darah, maka itu tidak ada hubungannya dengan vaksin tersebut.

Jadi kalau sudah divaksin enam bulan atau lebih dan keluar darah, pasti bukan karena vaksin Covid-19 AstraZeneca, ujarnya.

Sementara itu, pemerintah dalam hal ini BPOM bersama Kementerian Kesehatan dan Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas PP KIPI) terus memantau keamanan vaksin yang digunakan di Indonesia dan menindaklanjuti setiap kasus KIPI.

BPOM menghimbau masyarakat untuk melaporkan reaksi merugikan setelah penggunaan vaksin pada program imunisasi petugas kesehatan sebagai bagian dari program pengawasan obat, kata BPOM dalam keterangannya.