Categories
Lifestyle

Kerja Nonstop 3 Bulan Cuma Libur Sehari, Pria di China Meninggal karena Gagal Organ

bachkim24h.com, Jakarta Dalam agama, melebih-lebihkan sesuatu itu tidak baik. Ibarat bekerja, tubuh tidak bisa lagi dipaksa untuk mencari uang. Hanya budaya kerja berlebihan yang berdampak buruk. 

Menurut bachkim24h.com South China Morning Post, seorang pria berusia 30 tahun meninggal karena kegagalan organ pada Selasa (10/9/2024) setelah bekerja nonstop selama 104 hari dan hanya mengambil cuti satu hari. Tragedi ini terjadi pada Mei tahun lalu di Zhoushan, sebelah timur Tiongkok.

Korban, yang diidentifikasi sebagai A’bao, bekerja sebagai pelukis di sebuah perusahaan yang sangat sibuk. Selama tiga bulan ia hanya mendapat cuti satu hari, yang pada akhirnya tidak cukup untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Karena lingkungan kerja yang penuh tekanan, tubuhnya mengalami infeksi serius yang menyebabkan kematian.

Perusahaan tempat A’bao bekerja digugat oleh keluarganya. Pengadilan memutuskan bahwa perusahaan bertanggung jawab 20 persen atas kematiannya karena gagal mengelola beban kerja karyawannya dengan bijaksana. Kasus ini memicu perbincangan nasional mengenai lembur dan cuti minimum di Tiongkok.

 

A’bao mengalami penurunan kesehatan yang parah setelah bekerja nonstop selama 104 hari. Pada tanggal 6 April, dia hanya mendapat satu hari libur, yang tidak cukup untuk memulihkan tubuhnya dari banyaknya pekerjaan. Pada tanggal 25 Mei, A’bao merasa sakit dan mengambil cuti sakit untuk beristirahat di asrama.

Kondisinya memburuk tiga hari kemudian dan dia dilarikan ke rumah sakit oleh rekan-rekannya. A’bao didiagnosis menderita infeksi paru-paru yang menyebabkan kerusakan organ dan meninggal pada tanggal 1 Juni. Kronologi kematian A’bao menjadi dasar keluarganya untuk mengajukan gugatan terhadap perusahaan tersebut.

Pengadilan memutuskan di Guangzhou Daily bahwa kematian A’bao disebabkan oleh terlalu banyak bekerja dan ketidakmampuan perusahaan dalam mengelola kesehatan karyawannya. Kasus ini menunjukkan bagaimana korban tekanan kerja bisa mengalami akibat yang fatal.

Perusahaan tempat A’bao bekerja diduga melanggar aturan ketenagakerjaan dengan memaksanya bekerja tanpa istirahat yang cukup. Pengadilan memutuskan bahwa lingkungan kerja yang tidak sehat berkontribusi terhadap sistem kekebalan tubuh A’bao. Pelanggaran perusahaan ini pada akhirnya memicu kematian tragis karyawan tersebut.

Berdasarkan putusan pengadilan, perusahaan tersebut dianggap melanggar undang-undang ketenagakerjaan Tiongkok yang membatasi jam kerja maksimal per hari dan per minggu. Aturan-aturan ini harus melindungi karyawan dari tekanan kerja yang berlebihan. Pengadilan menuntut perusahaan membayar ganti rugi sebesar 400.000 yuan atau sekitar Rp 872 juta sebagai ganti rugi kepada keluarga korban. Termasuk Rp. 21 juta untuk stres emosional akibat kematian tersebut.

Lingkungan kerja yang tidak mendukung kesehatan para pekerjanya menimbulkan respon yang keras dari masyarakat Tiongkok. Banyak yang mengkritik pelanggaran yang dilakukan perusahaan sebagai bukti bahwa kesejahteraan karyawan sering kali diabaikan demi produktivitas.

 

Kasus meninggalnya A’bao setelah bekerja nonstop selama 104 hari memicu kemarahan di media sosial. Banyak pengguna internet yang menganggap perusahaan tidak memiliki rasa kemanusiaan dan tidak memahami pentingnya kesehatan karyawan. Berita viral ini menunjukkan betapa netizen bersimpati dengan penderitaan para pekerja keras seperti A’bao.

Seorang pengguna internet menulis: “Melukis adalah profesi yang berbahaya bagi kesehatan kita. Pada usia 30 tahun, dia kehilangan nyawanya.” Kematian tragis ini menunjukkan realita para pekerja yang seringkali terpaksa memilih antara kesehatan dan pendapatan.

Banyak netizen yang menilai santunan sebesar Rp 872 juta yang diberikan kepada keluarga korban tidak sebanding dengan kerugian yang dialami. Tragedi ini masih menjadi perbincangan hangat di dunia maya.

Kematian A’bao bukanlah kasus pertama. Pada Agustus 2019, seorang pekerja di Tiongkok juga meninggal setelah bekerja lembur selama 130 jam dalam sebulan. Kejadian ini menunjukkan betapa lingkungan kerja yang tidak sehat terus merenggut kehidupan para pekerja di tanah air. Beban kerja yang tinggi menyebabkan karyawan mengalami kelelahan yang hebat.

Mengutip kasus sebelumnya, Zhu Bin, sang korban, bekerja tanpa henti selama bulan Juli. Dia akhirnya meninggal dalam perjalanan pulang setelah bekerja lembur yang melelahkan. Pengadilan mengatakan bahwa tekanan kerja dan lingkungan kerja yang tidak konduktif berperan dalam kematiannya.

Sebuah kutipan dari seorang pengguna internet menggarisbawahi kemarahan masyarakat: “Bekerja dengan cara ini pada dasarnya seperti menukar hidup Anda demi uang.” Kasus-kasus seperti ini merupakan bukti nyata bahwa perusahaan seringkali gagal melindungi karyawannya.