Categories
Kesehatan

CISDI: Pemerintah Perlu Membuat Rokok Tidak Terjangkau Guna Tekan Beban Kesehatan

bachkim24h.com, Jakarta Konsumsi rokok pada tahun 2019 menanggung beban biaya kesehatan sebesar Rp 17,9-27,7 triliun pada tahun 2019 akibat penyakit yang ditimbulkan dan terkait dengan rokok.

Demikian temuan studi Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) yang diterbitkan pada tahun 2021.

Besaran Rp17,9 hingga 27,7 triliun tersebut setara dengan 61,75 persen hingga 91,8 persen dari total defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2019.

Artinya, pemerintah harus tetap menjadikan rokok ilegal untuk mengurangi beban kesehatan yang masih tinggi, kata pemimpin proyek pengendalian tembakau CISDI Beladenta Amalia, mengutip keterangan pers Jumat (27/9/2024).

Oleh karena itu, Beladenta bersama Lembaga Kajian Keamanan Masyarakat Universitas Indonesia (PKJS-UI) dan Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) menyayangkan rencana pembatalan kenaikan pajak tembakau pada tahun 2025.

Ketiga organisasi ini mendorong pemerintah, dan khususnya Kementerian Keuangan, untuk mengurangi jumlah perokok dan menghilangkan berbagai biaya kesehatan yang diakibatkan oleh merokok. Jelas bahwa rokok berbahaya bagi masyarakat dan perekonomian negara, dengan adanya kenaikan pajak tembakau (CHT) secara bertahap pada tahun 2025, dimulai dari 25 persen pada awal tahun, kemudian disesuaikan dengan inflasi dan 10% pada tahun berikutnya.

Selain itu, untuk membatasi akses anak terhadap harga rokok saat ini, disarankan untuk menaikkan Harga Eceran Minimum (HJE) dan menyederhanakan rencana harga CHT dari 5 menjadi 3 kelompok sebelum tahun 2029. Mendekatkan harga juga mengurangi kemungkinan perokok memilih versi yang lebih murah.

Kenaikan pajak tembakau ini berlaku untuk seluruh produk tembakau, termasuk rokok elektronik dan tembakau potong, dengan kenaikan minimal 25 persen dan khusus untuk rokok kretek (SKT) di atas 5 persen.

Menurut organisasi anti rokok itu, rencana pembatalan tersebut akan menghambat upaya perlindungan kesehatan masyarakat pasca disahkannya Undang-Undang Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan (PP Kesehatan), khususnya tentang perlindungan zat adiktif.

Ketentuan PP Kesehatan berasal dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 atau UU Kesehatan yang mengatur tentang pembatasan penjualan rokok secara eceran, pembatasan iklan rokok, dan peringatan kesehatan dalam iklan rokok. PP ini juga mengatur peredaran tidak hanya produk tembakau tetapi juga rokok elektronik, meningkatkan cakupan peringatan kesehatan pada kemasan rokok, dan melarang penjualan rokok kepada masyarakat di bawah usia 21 tahun.

Kebijakan pemerintah yang tidak menaikkan pajak rokok akan menghambat beberapa upaya pengendalian rokok yang direncanakan dan berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan keuangan publik.

Koordinator penelitian PKJS-UI Risky Kusuma Hartono mengungkapkan keprihatinannya atas pembatalan tersebut.

“Menaikkan harga tembakau adalah cara paling efektif untuk mengurangi konsumsi rokok, yang merupakan faktor risiko utama beberapa penyakit tidak menular, seperti kanker, penyakit jantung, dan stroke.” ). /9/2024).

 Risky menambahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan tegas menyatakan bahwa menaikkan harga melalui kebijakan pajak merupakan salah satu cara paling efektif untuk mengendalikan penggunaan rokok.

“Indonesia saat ini merupakan salah satu negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia dan tanpa tindakan tegas jumlah tersebut akan terus meningkat,” kata Risky.

Pihaknya juga mengkaji apakah menurut kajian yang dilakukan PKJS-UI, harga produk berpengaruh signifikan terhadap keputusan seseorang untuk merokok.

Penelitian PKJS-UI (2020) menunjukkan bahwa ketika harga rokok sangat tinggi, peluang anak untuk merokok menurun. Rendahnya harga rokok juga menjadi faktor yang mendorong anak-anak kembali merokok setelah berhenti merokok (PKJS-UI, 2023).

Selain mampu membiayai anak, masyarakat miskin juga lebih mudah membeli rokok sehingga menyulitkan mereka untuk berhenti merokok.

Studi PKJS-UI lainnya menunjukkan bahwa setiap peningkatan konsumsi rokok sebesar 1 persen meningkatkan risiko kemiskinan dalam keluarga sebesar 6 persen. Artinya konsumsi rokok mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan.

Kenaikan tarif pajak ini tidak hanya sebagai alat untuk mengendalikan penggunaan rokok, tetapi juga dapat meningkatkan jumlah uang negara yang dapat dibelanjakan untuk program pelayanan kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial. Uang yang dihasilkan dari asap rokok dapat digunakan untuk memperkuat sistem layanan kesehatan, terutama untuk mengobati penyakit yang berhubungan dengan rokok.