JAKARTA – Iran dan Rusia menjadi negara yang saat ini terkena sanksi Barat. Keduanya punya cara untuk menghindari sanksi tersebut. Javier Blas, kolumnis energi dan komoditas untuk Bloomberg, menjelaskan bagaimana Iran berhasil melarikan diri meski berada di bawah sanksi Barat lebih lama dibandingkan Rusia selama hampir 40 tahun.
Iran telah mengekspor minyak mentah dua kali lebih banyak ke Malaysia untuk diganti namanya dan kemudian didistribusikan dari sana ke Tiongkok. Dengan mengganti namanya menjadi minyak Iran, Malaysia tahun lalu menjadi pemasok asing terbesar keempat bagi Tiongkok setelah Arab Saudi, Rusia, dan Irak.
“China tidak mengimpor satu barel pun dari Iran. Tapi mereka mengimpor lebih banyak dari Malaysia. Menurut data resmi bea cukai China, negara ini membeli minyak Malaysia dua kali lebih banyak dari produksi sebenarnya Malaysia,” ujarnya, seperti diberitakan oleh DW, Minggu (5/5/2024).
Selama bertahun-tahun, Iran telah menggunakan Uni Emirat Arab (UEA) sebagai pusat untuk menghindari sanksi. Dubai, salah satu dari tujuh Uni Emirat Arab, merupakan pintu gerbang masuknya barang-barang terlarang selain minyak ke Iran.
Teheran telah lama mengubah rantai pasokannya sehingga hampir seluruh barang yang diembargo Amerika Serikat (AS) atau Uni Eropa dapat dibeli melalui perdagangan dengan pusat keuangan seperti Dubai. Sementara itu, Rusia sedang membangun jalur perdagangan serupa untuk menjamin pasokan barang-barang penting bagi perekonomian negaranya.
Negara-negara bekas republik Soviet di Asia Tengah telah terbukti ideal untuk menghindari embargo, karena negara-negara seperti Kazakhstan dan Kyrgyzstan adalah bagian dari serikat pabean dengan Moskow. Selain itu, jarak antara Kazakhstan dan Rusia yang sangat jauh, lebih dari 7.500 kilometer (4.660 mil), membuat pengendalian sanksi hampir mustahil dilakukan.
Melalui strategi ini, Armenia, misalnya, mencatat peningkatan impor mobil dan komponen Jerman hampir 1.000% pada tahun lalu.
Rusia adalah negara yang paling terkena embargo di dunia, menurut data terbaru dari Castellum, database pelacakan sanksi global. Namun, perekonomian Rusia tetap tangguh. Menurut Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov, negara ini mencatat pertumbuhan yang kuat sebesar 3,6% tahun lalu dan Kremlin memperkirakan tingkat pertumbuhan akan berada pada tingkat yang sama pada tahun 2024.
Dana Moneter Internasional (IMF) juga memiliki ekspektasi pertumbuhan yang sama dengan Rusia, dengan menetapkan tingkat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar 3,2% dan menunjukkan bahwa tingginya belanja pemerintah dan investasi terkait perang melawan Ukraina akan mendorong pertumbuhan. Pendapatan tinggi dari ekspor minyak terus mendukung keuangan Moskow.